Biodata

Foto saya
Lifestyle of Medan's People, Do You Want to Beat it...???

26 Februari 2009

Hidayat Nur Wahid, Capres Nomor Wahid Versi PKS

Hidayat Nur Wahid, Capres Nomor Wahid Versi PKS
Situs Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memuat berita hasil survei dari Lembagai Riset Informasi (LRI) yang menyebutkan bahwa Hidayat Nurwahid berpeluang maju ke arena pilpres 2009 mendatang. Menurut survei tersebut, Nur Wahid memperoleh angka 41.8% suara. Dia berada jauh di atas capres Rizal Mallarangeng yang hanya memperoleh 13.6% suara.

Sejauh ini, PKS hanya mengantongi nama Hidayat Nurwahid sebagai satu-satunya calon pilihan partai berlambang bulan sabit kembar itu. Hidayat Nurwahid menjadi presiden PKS antara kurun waktu 2000-2004, menggantikan posisi Nur Mahmudi Ismail.

Di kancah politik, Hidayat Nurwahid dikenal sebagai sosok yang tidak terlalu banyak menyita perhatian publik. Ia, tergolong politisi yang “diam.” Namun, diam tentu bukan berarti tidak melakukan apa-apa. PKS dikenal sebagai partai yang sangat solid dan militan. Hal ini tentu tidak lepas dari peran manajerial para tokoh partai tersebut, termasuk di dalamnya peran sentral Hidayat Nurwahid.

Pria yang selalu tampil dengan kupiah hitam dan janggut segenggam ini, memulai karir politiknya sejak terlibat dalam Partai Keadilan Sejahtera (dulu bernama Partai Keadilan). Sebelumnya, sebagian besar aktivitas Nur Wahid berkaitan dengan dunia akademik dan dunia organisasi kemasyarakatan. Ia menjabat sebagai tenaga pengajar setingkat Pascasarjana di beberapa perguruan tinggi di Jakarta. Ia juga menjadi ketua Forum Dakwah Indonesia, selain menjabat sebagai dewan redaksi Jurnal Ma’rifah.

Hidayat Nurwahid lahir di Klaten, Jawa Tengah, pada 8 April 1960. Selepas menamatkan bangku Sekolah Dasar di SDN Kebondalem Kidul Prambanan, ia hijrah ke Jawa Timur dan menempuh studi pendidikan ilmu agama di pesantren Walisongo, Ngabar, Ponorogo, kemudian dilanjutkan ke pesantren Darussalam Gontor.

Jenjang perguruan tinggi dimulai dari studi sarjana S1 pada Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga, 1979, juga di Fakultas Dakwah dan Ushuluddin, Universitas Islam Madinah, Arab Saudi, 1983. Studi S2 mengambil jurusan Aqidah di Universitas yang sama, dan selesai tahun 1987. Tidak cukup di jenjang Magister, ia menyabet gelar terakhirnya dan dinobatkan sebagai Doktor dalam bidang Aqidah di almamater yang sama, dengan karya ilmiah berupa disertasi berjudul Nawayidh lir Rawafidh Lil Barzanji, Tahqiq wa Dirosah.

Di samping para capres muka lama, saat ini bermunculan para capres berwajah anyar. Kemunculan calon-calon baru itu tidak lepas dari kejelian masing-masing membaca arah perpolitikan di tanah air. Keberanian PKS –jika kelak Nur Wahid jadi dicalonkan—untuk mengusung nama ketua MPR itu sebagai capres, merupakan keputusan yang tepat, ketika saat ini rakyat membutuhkan pemimpin alternatif.

Saat ini dibutuhkan calon-calon alternatif yang punya visi dan kinerja yang rapi. Meski sepanjang karir politiknya, Hidayat Nurwahid belum pernah sekalipun membuat gebrakan yang melambungkan namanya, namun keberhasilan dia dalam mengelola dan membesarkan partai sudah cukup menjadi bukti bahwa dia seorang yang sangat layak dicalonkan sebagai presiden alternatif pada pilpres 2009.

Memang, Nur Wahid adalah sosok politisi yang “diam.” Tidak terlalu suka macam-macam. Pribadi yang bersih dan berwibawa. Dia adalah figur yang mengamalkan kata-kata bijak bahwa “sedikit bicara banyak kerja”. Bukankah saat ini, bangsa Indonesia sangat membutuhkan orang-orang yang “Talk Less Do More?”

15 Februari 2009

Mengkritisi film PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN

PR yang tak terselesaikan
(sebuah koreksi untuk film PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN)

Tidak bisa dipungkiri bahwa selain sasaran empuk penyebaran Narkoba, Indonesia juga merupakan lahan empuk untuk peredaran film-film layar lebar secara global. Ini bisa dibuktikan dari banyaknya film-film manca Negara yang turut meramaikan bursa perfilman yang ada dan sedang beredar di bioskop-bioskop di sudut-sudut kota, kendati pun kuantitas konsumennya sangat tentatif. Ini dikarenakan corak kultur yang tersajikan dalam film-film manca Negara tersebut masih kurang bisa tercernakan oleh para penonton di negeri ini yang tentu juga memiliki corak kultur tersendirinya juga. Itulah mungkin sebabnya pangsa pasar perfilman di negeri ini menaruh harapan dan lebih tertarik untuk menonton film-film nasional karena secara rasional dan emosional tidak terlalu rumit (bahkan mudah) untuk disimak dan dicerna.

Kemudian, bila kita mau melihat bagaimana dan seperti apa Negara lain beserta kelompok-kelompok produsen filmnya membuat film, tentu kita akan meninggalkan sederetan catatan unik yang tidak ada di negeri ini - atau mungkin ada tapi dengan kuantitas yang sangat minim- seperti penelitian yang dilakukan sebelum proses syuting atau bahkan sebelum penulisan scenario atau ide cerita yang biasanya dilakukan sebagai opsi pengganti dan/atau penguat dari pengalaman yang dialami oleh seorang penulis scenario, yang mana penelitian ini dilakukan secara intensif dan dalam waktu yang tidak singkat dan menghabiskan dana yang tidak sedikit pula tentunya. Lalu ada lagi mata pelajaran/kuliah atau sekolah yang khusus untuk melahirkan para pembuat cerita/film yang berkualitas karena ilmu dan talenta yang ditelurkan oleh lembaga pendidikan tersebut. Kemudian disokong oleh hukum yang secara seimbang (dan berlandaskan rasionalitas, idealitas serta realitas) menjamin eksistensi perfilman yang ada. Dan masih banyak catatan lainnya yang tidak memungkinkan bagi kita untuk menguraikannya secara detail dalam tulisan singkat ini.

Inilah mungkin beberapa factor yang kemudian membuat para produsen film di negeri ini menjadi sedikit mandul dan terkesan memiliki skil yang karbitan (‘junks skill’). Dari sinilah kita akan melihat betapa rapuhnya ide cerita, ilmu dan performa film-film yang ada di Indonesia, termasuk yang akhir-akhir ini sempat membuat gerah sebagian masyarakat muslim, yakni film ”PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN”. Saya meyakini ada beberapa perasaan ganjil yang juga dirasakan oleh penonton yang lain saat menonton film bertemakan kebebasan dan agama tersebut. Saya melihat ada upaya yang sistematis dari penulis atau si pemilik ide cerita untuk membuat perbandingan-perbandingan horizontal antara ajaran agama Islam dengan (pencarian) kebebasan yang selayaknya juga bisa dilihat dari sudut pandang agama maupun social. Namun kedangkalan ilmu yang dimiliki oleh penulis mengakibatkan beliau tidak melahirkan sebuah karya yang layak untuk diberikan apresiasi positif dari masyarakat muslim secara khusus.

Sekarang coba kita analisa sejenak beberapa makna yang secara kontras terpancar dalam film tersebut:
1. Film dimulai dengan penetangan agama melalui orang tua terhadap keinginan Annisa untuk bisa belajar berkuda (dan juga keinginan-keinginannya yang lain seperti kuliah,dsb), padahal berkuda adalah salah satu pesan Nabi SAW yang disampaikannya pada para orangtua agar mengajari anak-anaknya dengan keahlian tersebut. Adanya penekanan dari ajaran pesantren bahwa dunia di luar pesantren sangat tidak steril bagi orang-orang yang bertaqwa, seperti bioskop (padahal Menteri Pemberdayaan Perempuan menonton film ini di bioskop juga), perempuan yang selalu dinomor dua kan dalam Islam dan seolah-olah Islam dengan hukum-hukumnya telah menggariskan segala sesuatu yang tidak adil bagi kaum perempuan. Hal ini diperkuat dalam film ini karena dari awal hingga akhir cerita tidak ada upaya dari penulis untuk memberikan penjelasan dalam bentuk cerita itu sendiri tentang kebenaran atas fenomena yang disengketakan dalam cerita tersebut, hingga akhirnya cerita diakhiri dengan pemahaman yang telah tertanam dalam benak penonton di awal, Islam tidak adil kepada kaum wanita… Seharusnya si penulis atau sutradara menyempatkan diri untuk menciptakan adegan-adegan yang mampu memberikan jawaban atas fenomena tersebut, bahwa keinginan Annisa tidak salah dalam pandangan agama, tapi kekolotan berfikir masyarakat pesantrennyalah (termasuk orang tuanya) yang salah dalam memandang masalah ini.
2. Yang celakanya, film ini bercerita tentang keburukan agama yang dilakonkan oleh orang-orang yang menjalankan agama dengan baik. Ini sangat berbahaya karena ini bisa memprovokasi penonton dengan asumsi yang mungkin sempat terlintas dalam benak penonton bahwa orang-orang yang dekat dengan agama dan Tuhannya pasti akan melahirkan prilaku yang tidak baik dan tidak menyenangkan bagi orang-orang yang kurang baik atau bahkan tidak pernah sama sekali dalam mengamalkan ajaran Islam atau bagi manusia modern yang identik dengan kebebasan seperti yang ingin diraih oleh Annisa dalam cerita tersebut. Ini sangat provokatif, sangat kontradiktif dengan usaha-usaha keras yang telah dilakukan oleh para da’i dan ormas Islam yang mati-matian mencoba membangun kembali keterpurukan Islam dan menaikkan kembali posisi izzah Islam di mata masyarakat Indonesia pasca issue terorisme yang terang-terangan telah menyudutkan dan menyayat hati ummat Islam Indonesia…
3. Dalam film ini juga digambarkan bahwa melarikan diri dari ketundukan dan kepatuhan terhadap ajaran agama (secara parsial ataupun secara totalitas) adalah lebih baik dari pada mempertahankan ajaran yang dinilai tidak tentu arah dan hanya merugikan pihak perempuan saja. Atau minimal, penyimpangan pemahaman seperti ini tidak dijustifikasi oleh film ini sebagai sebuah tindakan yang tidak benar, bahkan ada kesan membiarkan begitu saja pemahaman ini tumbuh subur dalam benak pelakon dalam film ini tanpa ada ‘ending’ yang jelas sebagai jawabannya. Hal ini bisa kita lihat dari perubahan prilaku yang terjadi pada sahabat Annisa saat sudah kuliah di Yogyakarta, sudah mulai melepas jilbabnya, mulai merasa asyik melakukan khalwat berdua dengan pacarnya di kamar kos, dst.
4. Ada lagi pengkambinghitaman syari’at Islam sebagai dasar pembenaran atas poligami yang dilakukan oleh seorang suami dengan dasar dan proses yang salah (bahkan diperkuat dengan dukungan ustadz ) dalam cerita tersebut. Padahal poligami yang diceritakan tidak lebih dari sebuah kasus perzinahan yang menjijikkan, penghinaan, pengkhianatan seorang suami kepada isterinya yang mana pada saat tersebut sang suami lebih layak mendapat hukuman dari pada melakukan poligami dengan wanita yang telah dizinahinya tersebut. Seharusnya ada upaya untuk memunculkan adegan-adegan yang menunjukkan penuntutan kebenaran atas kesalahan tersebut, namun ternyata kasus ini dibiarkan larut dan seolah-olah memang yang seperti itulah kebenarannya. Begitu juga halnya dengan doktrin bahwa seorang isteri yang dilarang menggugat cerai suaminya, juga dibiarkan terabaikan dari sisi-sisi pembenaran, sungguh tragis…
5. Hal mendasar yang mungkin kurang disadari oleh penggarap film ini adalah bahwa agama selalu menjadi sangat-sangat sensitive untuk dibawa ke dalam ranah diskusi terbuka, apalagi untuk di reka-reka menurut persepsi pribadi. Ini artinya sangat beresiko bagi orang-orang yang tidak mumpuni dalam ilmu agama atau pemahaman yang sempit untuk menggarap film-film bernuansa agama. Begitu juga halnya bilamana menjadikan pemahaman agama yang dangkal dan sempit sebagai polesan utama dalam sebuah cerita yang menghadap-hadapkan nilai ajaran agama dengan fenomena yang diciptakan/dibuat-buat secara sengaja melalui alam sadar si pembuat cerita itu sendiri, ini terkesan terlalu berani dan konyol, seolah-olah menantang ummat islam secara umum, sangat provokatif…

Yang ingin saya kritisi dari film ini adalah bahwa film ini memang film yang bernuansakan agama karena dari judul dan covernnya pun kita sudah melihat penggunaan simbol-simbol agama Islam seperti penggunaan istilah ‘sorban’ dalam judulnya, atau background puluhan wanita berjilbab pada iklannya yang menggambarkan latar pesantren di dalam ceritanya, seolah-olah film ini akan membawa aspirasi da’i dalam tujuan dakwah Islamiyah karena menggunakan simbol-simbol tersebut. Tapi ternyata film tersebut justru melahirkan pelecehan kepada agama Islam sebagai agama yang sempurna. Maka saya juga heran mengapa pondok-pondok pesantren tidak merasa terusik dengan kehadiran film ini.

Kalaulah si penulis atau sutradara atau siapa saja yang berniat memilih agama sebagai tema cerita yang difilmkan, maka selayaknya dia memiliki ilmu dan pemahaman yang totalitas tentang ke-‘syumulan’ ajaran Islam, agar Islam beserta ajaran dan hukumnya tidak dipahami atau ditampilkan sebagai agama yang tidak adil, kejam, membuka lebar peluang pelecehan seksual oleh kaum yang satu kepada kaum yang lain. Sungguh naïf sekali bila ribuan atau jutaan orang menganggap Islam memiliki kekurangan hanya dikarenakan kedangkalan ilmu dan pemahaman dari si penulis secara pribadi. Maka saya pikir adalah sangat wajar manakala artis senior Dedi Mizwar juga meminta agar film ini dilakukan peninjauan ulang. Terus terang film ini lebih banyak menampilkan masalah dan melahirkan masalah baru dari pada menyelesaikan masalah, bahkan terkesan menampilkan masalah yang terlalu di-hiperbola-kan.


Hukum dengan produk dan prosedurnya harus bisa mengoptimalkan peranannya terutama di saat ada film-film yang berpotensi menimbulkan konflik dalam masyarakat, begitu juga dengan Majelis Ulama Indonesia yang seharusnya mengambil porsinya sebagai lembaga yang mendapat legitimasi dalam memberikan penilaian terhadap film-film yang terkait dengan dakwah dan kemashlahatan ummat muslim di Indonesia. Semoga saja film PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN bisa menjadi pelajaran berharga bagi kita semua sekaligus mampu untuk memberikan peringatan kepada para penggarap perfilman di negeri ini untuk tidak menganggap remeh tanggungjawab moral dan tanggungjawab social dalam memproduksi film-film bertemakan agama. Dan tulisan ini, semoga bisa memberikan tambahan buah pertimbangan dan kontribusi positif dalam menengahi permasalahan film PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN ini secara khusus dan meningkatkan kualitas perfilman di negeri ini secara umumnya.
Terima kasih,