Biodata

Foto saya
Lifestyle of Medan's People, Do You Want to Beat it...???

16 Desember 2009

dukungan fans...

13 Desember 2009

11 Desember 2009

SEBUAH KEJADIAN NYATA

Mungkin ini yang dinamakan hari anak. Buktinya, tak satu pun dari anak-anak itu yang tak kulihat berlari gembira ke sana dan ke mari, berkejar-kejaran dengan teman-temannya. Tapi yang mengherankan adalah mengapa anak-anak ini menjadikan kawasan pertokoan pasar tradisional sebagai arena bermain mereka? Oh, mungkin ini adalah sebuah kebijakan dari pengelola yang menyulap arena pertokoan tersebut menjadi arena bermain untuk anak-anak dari ibu-ibu pelanggan yang saban hari mondar-mandir berbelanja kebutuhan sehari-hari di pertokoan tersebut. Sungguh aku telah berada pada suatu hari dan kejadian yang tak lazim, aneh.

Belum hilang tanda tanya dalam kepalaku, tiba-tiba kudengar suara jeritan bocah dari arah gang kecil pertokoan tepat di belakangku. Sontak kuberlari menuju arah datang suara yang sepertinya sangat kukenal itu. Dari jauh kutangkap bayangan anak yang menjerit itu terduduk di lantai pertokoan yang memang tak pernah bersih layaknya kawasan perbelanjaan di mall. ”Abang...” dalam hatiku semakin yakin sosok bocah kecil itu. Kudekap ia beberapa detik sebelum ibunya yang juga berlari di belakangku tadi mendapatkannya.

”Masya ALLAH...”, gumamku kecil. Bagaimana mungkin potongan kaleng alumunium yang biasa dijadikan pintu pertokoan itu bisa menusuk ke dalam sisi luar telapak tangannya? Ada sekitar satu sentimeter potongan alumunium itu tertancap ke dalam daging bacah tiga tahun itu. Si ibu, yang juga merupakan teman sekerjaku itu pun tak kuasa menahan tangisnya.

Tak mau mengulur-ulur waktu, langsung saja kucengkeram tangannya yang sudah berdarah-darah itu dan kugendong untuk dibawa ke Rumah Sakit. Si ibu mengikuti di sebelah kiriku tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Kubelah lautan anak-anak yang sedang bermain itu dengan langkah seribu. Taxi biru yang kebetulan ada di seberang jalan itu harus segera kugapai untuk segera bisa sampai ke Rumah Sakit sebelum si abang kehabisan darah.

Di dalam taxi, tangisan si abang yang masih berada di pelukanku sudah mulai reda. Tapi masih ada suara tangisan yang lain, siapa lagi kalo bukan si Tari, ibunya si abang yang duduk di sebelahku sambil tangannya mengelus-elus rambut anaknya yang berada dalam pelukanku. Lalu sembari berbisik kukatakan pada Tari ”Jangan sampai tangisanmu membangkitkan kembali kesedihannya yang sudah mulai reda ini”.

Dasar Jakarta, selalu saja ada istilah macet terutama di saat kita sedang diburu waktu. Sementara darah dari tangan si abang terus mengalir dan menodai kemeja putihku yang biasa kupakai ngantor. Perlahan kuperhatikan tatapan mata si abang yang dilemparkannya ke luar jendela kaca taxi. Takut si abang teringat lagi akan tangannya yang ditusuk kaleng timah dan memungkinkannya untuk pingsan karena terlalu banyak mengeluarkan energi dan darah dari tangnnya, aku pun mulai memutar otak untuk mengalihkan perhatiannya. Lalu dengan penuh kelembutan kupindahkan bocah itu ke pelukan ibunya. Namun isak tangisnya masih juga terdengar walau sesekali.

Kukeluarkan 5 bungkus permen yang masih tersisa di saku celana, lalu aku pun duduk di lantai taxi tepat menghadap si abang sambil kukatakan dengan penuh rasa girang, ”Eh, ini Om ada permen untuk abang”, kataku sambil menebarkan kelima permen tersebut di kursi bekas tempat ku duduk tadi. “Kita main berhitung yuk”, ajakku pada bocah tiga tahun itu. “Satu...”, aku memulai hitungan dari permen yang berbungus biru. “Terus...?”, tanyaku padanya. “Dua...”, jawab si abang dengan terbata-bata sambil melirik mata ibunya yang berada di atas kepalanya. “Ih, pinter... Terus, habis dua, berapa Bang?”, tanyaku lagi padanya. “Tiga”, jawabnya dengan lebih tergar dan pede. “Wah, hebat Abang yah”, pujiku untuknya sambil menggeser-geserkan tiap bungkus permen yang akan dihitungnya. “Lima...”, lanjutnya agak ragu. “Eeeehhh...”, Tari menyela mencoba menegur kesalahan perhitungan anaknya itu. Tapi belum sempurna selaan Tari, aku langsung menimpalinya “Pinter Abang...tapi, kalau habis tiga itu bukan lima Bang, tapi empat dulu, yah”. Senyum pun kemudian lahir dari wajahnya yang sempat basah dengan air mata itu.

”Ayo, kita hitung ulang yuk”, ajakku kepada si abang yang disambut dengan anggukan kepalanya, sementara dari sudut mata kumelihat tatapan mata ibunya yang tak lepas dari aksi menghiburku itu. “Satu...”, ”Dua...”, ”Tiga...” hitungnya dengan lancar. “Terus, habis tiga berapa sayang?”, tanyaku membantu ingatannya. ”Empat...”, lanjutnya. ”Pinter, terus...?”, pujiku tak lupa untuknya. ”Liiimaaa”, tutupnya girang. ”Subhanallah, pinter banget...” kembali kumemuji tanpa memancingnya untuk bertepuk tangan karena sadar tangannya yang satu lagi sedang cidera. Lalu kulihat matanya pun seketika itu berbinar-binar menceritakan tentang kegirangan yang sedang membuncah di dalam hatinya. Sementara si ibu pun tak kalah senangnya dengan aksi menakjubkan yang baru saja kulakukan secara spontan itu. Beberapa detik kemudian, kami pun sudah tiba di pelataran Rumah Sakit. Setelah membayar ongkos, lalu aku segera turun dan membukakan pintu untuk si Tari sebelum aku mengambil alih si abang untuk kugendong menuju ruang Gawat Darurat.

Tanpa banyak bicara, segera dokter bedah segera mempersiapkan peralatannya bersama rekan-rekan perawat lainnya. Tak henti-hentinya aku berusaha menghibur si abang untuk menenangkannya. Tapi dasar anak cerdas, selalu saja ia mau tahu apa yang dilakukan oleh manusia-manusia berpakaian serba putih itu terhadap tangannya yang masih menyisakan rasa perih itu. Karena kewalahan akhirnya dokter menyuntikkan obat bius yang sesaat kemudian berhasil memenangkan jalannya operasi tersebut dengan mengangkat lempengan alumunium yang selama hampir 20 menit sempat bersarang di dalam daging tangan kiri bocah yang masih berumur tiga tahun itu.

Operasi selesai, namun si abang masih belum juga sadarkan diri saat dokter menganjurkan agar bocah ini diistirahatkan dahulu di salah satu kasur yang masih kosong di sudut ruangan itu. Lalu aku beranjak ke kasir untuk menyelesaikan biaya administrasi operasi si abang, lalu kembali lagi ke kamar untuk menunggu si abang siuman agar bisa segera pulang ke rumahnya. ”Kena berapa biayanya Sur?, tanya Tari serius dengan wajah yang penuh lelah dan mata yang tertuju pada baju putihku yang sudah bertambah warna merah bekas darah dari luka tangan si abang. ”Ehm...Cuma 50 ribu kok. Udah, gak usah diganti. Nanti kalo udah gajian bulan depan, kau traktir aku makan siang aja, ok?”, jawabku sambil menghibur yang dibalas dengan senyum khasnya.
Tiba-tiba seorang perawat datang dan meletakkan jam becker di meja samping kasur si abang. ”Lima menit sebelum reaksi obat bius hilang, becker ini akan berbunyi. Mungkin reaksi obat biusnya 10 menit lagi akan hilang”, jelas perawat yang kurang pandai senyum itu sambil berlalu ke luar. Aku duduk di sebuah kursi yang ada di sebelah kiri kasur si abang, sementara Tari mondar-mandir mencoba menghubungi hp suaminya yang sejak awal susah dihubungi. ”Iya, hallo...”, sapa Tari dengan meletakkan hp di telinga kirinya. ”Alhamdulillah, berarti suaminya sudah berhasil dihubunginya”, ujarku dalam hati.

Tak berniat menguping pembicaraan pribadi orang lain, aku pun menyibukkan diri dengan merapikan posisi tidur si abang, lalu mengusap-usap rambutnya sambil meletakkan kepalaku di sebelah pundaknya.

Pembicaraan Tari dengan suaminya kedengarannya ricuh. Beberapa kali kudengar suara Tari meninggi diiringi sedikit isak tangis. Tapi demi ALLAH, aku tidak nguping kok. Buktinya aku tak mengetahui pasti apa yang sedang mereka bicarakan melalui alat komunikasi jarak jauh itu.

Aku sudah hampir tertidur saat Tari selesai dengan teleponnya dan menghampiri anaknya dari sisi sebelah kanan. Hey, mengapa aku bisa melihat mata Tari yang begitu fokus menatapku? Padahal aku sedang tertidur. Oh tidak, aku jadi semakin tak percaya saat aku bisa mendengar suara Tari bergema di dalam ruangan itu. Mungkin inilah yang dinamakan suara hati oleh Iwan Fals dua tahun yang lalu dalam karya lagunya itu. ”Engkaulah seharusnya dan lebih layak menjadi ayahnya...”.

Masya ALLAH... Bagaimana mungkin aku bisa mendengar apa yang ada di dalam hati Tari di saat aku sedang tertidur dan sementara lisannya tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Bagaimana mungkin dia bisa mengatakan kalimat itu. Apakah dia menaruh harapan padaku hanya karena kebaikan dan perhatianku pada anaknya hari ini?

”Kriiiiiiing”, suara jam becker yang diletakkan oleh perawat tadi berdering. Itu artinya lima menit lagi si abang akan siuman. Kubuka mata dan kuangkat kepalaku. Tapi aneh, kenapa suara dering itu semakin kencang? Kuperhatikan sekelilingku. Masya ALLAH, ternyata alarm hp yang di sebelah bantalku yang berdering. Ternyata cuma mimpi.

Ini memang mimpi, tapi ini nyata. Ya, nyata terjadi. Sebuah kejadian nyata, bahwa aku telah bermimpi. Ups, jam 03 pagi, saatnya tahajjud.

Kamarku,
11 Desember 2009,
06.30 WIB