Biodata

Foto saya
Lifestyle of Medan's People, Do You Want to Beat it...???

24 Maret 2009

“Peluhku di Kota Medan”

Angin hangat masih menyisakan hembusannya di antara gang-gang kecil di sore itu. Kicau burung kutilang yang terbang tak memiliki tuan sesekali menambah kekuatan bagi pendengarnya untuk semakin menyatu dengan alam ciptaan-Nya yang damai. Canda tawa anak-anak tetangga yang bermain riuh di sepetak tanah kosong milik sang ayah seolah melengkapi objek pemandangan rutinnya hampir di setiap sore. Terkadang mereka tertawa terbahak-bahak, terkadang ada yang marah, dan tak jarang ada yang menangis karena terjatuh saat berlari atau bahkan hanya karena tidak diajak bermain ‘sambar elang’ bersama teman-teman yang lain.
Sungguh merupakan masa yang indah. Bermain dengan penuh kegembiraan tanpa beban. Ingin rasanya kembali ke masa-masa itu. Namun seketika itu pula alam bawah sadarnya me’rewind’ ingatan masa lalunya yang kelam enam tahun yang lalu. Menjadi junkie memang bukan murni keinginannya. Pergulatan yang terjadi di dalam jiwanya dalam mencari jati diri seakan disalaharahkan oleh lingkungan pergaulan yang hampa akan nilai-nilai kebenaran. Hampir tiadanya ‘control’ keluarga, pada akhirnya membuatnya terjerumus ke dalam dunia user tersebut.
Namun kini ia bersyukur atas nikmat-Nya karena sejak tahun 2004 ia telah mampu menemukan jalan yang lurus setelah lima tahun terjerat di dalam lingkaran hitam yang penuh dengan nista dan kemaksiatan. “Sungguh, hidup ini penuh dengan lautan warna-warni kehidupan dan segunung pelajaran bagi orang-orang yang mau berfikir…” ungkapnya dalam hati sambil menarik nafas panjang.
Segelas teh manis hangat disiapkan di meja bersama gitar akustik dipelukannya. Dengan penuh ketenangan dilantunkannya lagu-lagu favouritenya yang dikuasainya dengan baik.
Menjelang adzan maghrib, Uya pun mandi dan berangkat menuju masjid Al-Ikhlas yang berkisar 200 meter dari rumahnya. Setelah sholat Maghrib, biasanya Uya akan pulang ke rumah untuk makan malam sebelum waktu isya masuk. Namun bila tidak memungkinkan, maka makan malam harus ditunda setelah selesai sholat isya. Sengaja Uya menempatkan waktu makan malam pada rentang waktu antara maghrib dan isya, karena agenda-agenda dadakan sering muncul setelah selesai sholat isya.
----- ***** -----
Malam itu udara terasa sangat sejuk setelah hujan membasahi bumi dan meninggalkan nuansa ‘adem’ di tiap jengkal tanah yg dilaluinya. Pandangannya tertuju pada sudut gang menuju rumahnya. Tujuh orang anak muda terlihat sedang asyik menikmati racikan ‘cimeng’ yang dibalut dalam lintingan rokok setelah sebelumnya mereka ‘giting’ akibat suntikan putaw. Dulu ia adalah salah satu di antara mereka, namun sekarang tidak lagi.
Mencium aromanya saja sudah membuatnya pusing dan mual. Sesegera mungkin ia mempercepat langkahnya untuk bisa berlalu dari aroma yang menyesakkan dadanya itu.
“Yak…” terdengar suara Rijal datang dari arah yang dibencinya itu. “Oi, ada apa?” jawabnya dengan posisi renggang 20 meter dari mereka. “sini dulu, sombong kali pun kau…” agak keras suara Rijal memaksanya untuk datang ke tempat yang membuatnya pusing itu.
“Ada apa Jal?” tanyanya bersahabat. “Dari mana kau, Yak?” tanya Rijal basa-basi. “Dari masjid, sholat isya tadi. Ada apa Jal?” Uya mengulang pertanyaannya dengan nada to the point. ”Ini, uang kami kurang ‘goceng’ lagi, tambahin lah dulu Yak…” jelas Rijal sambil menggengam beberapa lembar uang ribuan di tangan kirinya seperti kondektur angkot.
“Emang untuk apa Jal?” tanya Uya pura-pura tak mengerti. “Eee…hm…ini, untuk nambah-nambahi beli ‘cimeng’…” paparnya dengan sedikit ragu dan bahasa yang agak bergetar.
Ada sekitar 10 detik Uya tidak menjawab sambil menatap tajam ke arah Yakub dan kawan-kawan lainnya yang juga mengikuti dialog mereka.
“Kau tau kan aku udah gak make-make lagi, Jal? Kalo aku menganggap perbuatan ini gak benar untuk diriku, ya aku pun gak akan mungkin membantu kau dan yang lain untuk melakukan itu…”. Semua yang ada di situ merasa sangat terpukul oleh kalimat Uya, terutama Rijal.
“Ya tapi kau kan gak ikut ngisap, cuma nambahin aja, ya semacam infaq lah…” canda Rijal mencoba mencairkan suasana yang mengundang tawa ringan dari beberapa kawan yang lain.
“Infaq itu hanya untuk yang benar dan dengan cara yang benar. Infaq juga gak selalu harus dengan uang. Aku sekarang ini sedang berinfaq untuk kalian dengan perkataan” timpal Uya serius. “Ya udah lah, kalo gak mau ngasih. Gak usah pake acara ceramah-ceramah gitu…” jawab Rijal kesal dengan wajah cemberut bercampur sedikit emosi sambil membalikkan badannya meninggalkan Uya menuju kawan-kawan lainnya. Sebenarnya Uya lebih tua 5 tahun dari Rijal dan kawan-kawan yang lainnya. Namun tidak terlihat ada nuansa hormat dari mereka pada Uya hanya karena dulu mereka pernah ‘satu meja’ dengan Uya dan diperparah dengan berhentinya Uya dari dunia narkoba itu yang lantas membuat mereka sedikit membenci dan semakin tidak sopan padanya
----- ***** -----
Di hari minggu, seperti biasa Uya lebih banyak menghabiskan waktunya untuk membaca buku di rumah. Atau bahkan terkadang hampir tidak terlihat sama sekali di rumah dari pagi hingga malam karena aktivitas yang diikutinya di beberapa organisasi ke-Islam-an di kampus dan masjid dekat rumahnya.
Setelah berhenti dari kencanduan narkoba, Uya mencoba melibatkan diri dalam agenda-agenda ke-Islam-an. Salah satunya adalah masuk organisasi kemahasiswaan di kampus dan Remaja Masjid dekat rumahnya.
----- ***** -----
Entah karena loyalitas yang tinggi atau karena ada alasan yang lain, tapi yang pasti teman-teman lama Uya di ‘dunia hitam’ kini semakin membencinya. Pernah suatu ketika di saat Uya berjalan menuju masjid untuk sholat isya, salah satu dari mereka melemparkan batu tepat di depan kaki Uya yang sedang melangkah. Namun Uya tidak mau menghiraukannya, ia hanya menoleh sekilas sambil tetap melangkahkan kakinya.
Keesokan harinya Uya sedang mengendarai ‘kereta’nya dari kampus menuju rumah. Ketika di Simpang Limun ia menyaksikan kerumunan orang sedang berdesak-desakan menyaksikan sebuah perkelahian. Massa yang menonton membentuk arena bagi dua orang yang berkelahi seolah tidak berniat untuk melerai bahkan terlihat asyik menikmati aksi pertarungan Gladiator tersebut.
Uya lalu memarkirkan ‘kereta’nya dan berusaha mencari tahu apa yang sedang terjadi. Belum sempat ia bertanya pada salah seorang di situ, matanya tertuju pada dua sosok pemuda yang saling ‘adu jotos’ tersebut. Dilihatnya dengan lebih seksama, “Ya Robbi… Rijal…” teriaknya seraya menerobos barisan kerumunan. Segera ditariknya rival Rijal dari atas tubuhnya lalu dihampirinya Rijal yang sudah tersungkur di tanah dengan wajah dan baju yang berlumuran darah.
“Hey, Yak… Ngapain kau tolongin preman kampung itu?” teriak rival Rijal tadi kepadanya. Dipalingkan wajahnya ke arah asal suara tersebut. Ternyata beliau adalah Bang Jangual, kepala preman Simpang Limun yang juga kenal baik dengan Uya.
“Eh, Bang, apa salah dia sampe abang hajar babak belur gini? Tanya Uya cemas pada Jangual sambil melindungi tubuh Rijal dari kemungkinan serangan lanjutan dari Jangual. “Dia coba-coba melarikan uang anak buahku yang mau beli putaw. Dia belum tahu siapa aku, biarin aja Yak, biar dia tahu siapa aku…” jelas Jangual dengan emosi sambil berusaha mendaratkan pukulan di kepala Rijal. Secepat kilat Uya menangkap dan memeluk tubuh Jangual dan mengajaknya menjauh dari Rijal. Mungkin Rijal terkejut, bagaimana mungkin Uya berani meredakan keamarahan kepala preman itu.
Dulu Uya memang sempat bermain di Simpang Limun. Jangual sangat menyukainya bahkan menyayanginya. Uya dikenal oleh preman-preman lain di Simpang Limun sebagai adiknya Jangual. Jangual sendiri yang mengatakan itu pada preman lainnya. Bahkan Jangual pernah mengancam, siapa aja yang berani menyakiti Uya maka akan berhadapan dengan Jangual.
Alhasil, terselamatkanlah Rijal dari amukan preman Simpang Limun tersebut karena kehadiran Uya di situ. Setelah semua urusan ditengahi oleh Uya, akhirnya Rijal pun dibawa berobat ke klinik terdekat sebelum akhirnya diantarkan pulang ke rumahnya.
Semenjak kejadian itu, Rijal menjadi malu pada dirinya dan pada Uya. Tak pernah dipikirkan olehnya kalau orang baik-baik yang selama ini dibencinya justeru menolongnya dari ancaman maut. Kini tidak satu pun para pemabuk di dekat rumahnya yang berkelakuan kasar padanya. Bahkan mereka kini berusaha menyembunyikan mabuknya disaat bertemu dengan Uya. Uya hanya senyum-senyum melihat gelagat teman-temannya itu. Dia hanya berharap semoga suatu saat kelak Allah berkenan memberi hidayah pada mereka dan mempertemukan mereka dalam sebuah ikatan persaudaraan di atas tali agama Allah, semoga saja…


Keterangan:
Gang : jalan setapak sejenis lorong
Sambar elang : Permainan khas anak-anak di medan yang dimainkan oleh banyak orang, dimana ada 1 anak yang bertugas sebagai elang sementara yang lainnya berperan sebagai ayam/kelinci yang harus menyelamatkan dari dari sergapan sang elang. Siapa yang tertangkap/tersentuh oleh si elang, maka ia menjadi elang berikutnya.
Junkie / User : pencandu/pemakai narkoba
Cimeng : istilah gaul untuk ganja
Giting : separuh kehilangan kesadaran (atau bahkan lebih) setelah mengkonsumsi putaw. Serasa tubuh terbang tinggi di awang-awang yang kemudia diistilahkan dengan membalikkan suku katanya (tinggi-giting)
Goceng : istilah yang diadopsi dari bahasa Tiong Hwa untuk menyebutkan jumlah uang lima ribu rupiah.
Satu meja : sebutan lazim anak Medan untuk mengistilahkan pernah duduk / gabung bersama
Kreta/kereta : sebutan lazim orang medan untuk mengatakan sepeda motor
Rival : lawan

07 Maret 2009

ANCA, si Akhwat Medan

Dunia remaja dilaluinya dengan penuh suka cita serta canda tawa, terlebih saat dia mendapatkan segala yang diinginkannya karena keluarga yang selalu memberikan segala keinginannya. Yah, Anca, begitulah panggilan akhwat muda yang memiliki wajah berseri dihiasi lesung pipi di kedua sisi pipi dekat ujung bibirnya. Lahir dari keluarga kaya dan serba lengkap memang bukan pilihan Anca saat akan dilahirkan ke dunia, namun semua itu dirasakannya sebagai sesuatu yang membuat hidupnya menjadi lebih sempurna selain anugerah ilahi atas keindahan tubuh dan paras yang seringkali mengundang perhatian para ikhwan yang melihatnya dengan penuh keterpesonaan sambil membayangkan harapan manakala suatu saat nanti bisa mendapatkannya sebagai isteri atau pinomat menjadikannya sebagai standar ideal kriteria akhwat yang akan mereka jadikan isteri. Ya, adalah sangat manusiawi manakala seorang ikhwan berkeinginan untuk mendapatkan pendamping hidup seperti Anca. Berkeinginan untuk mendapatkan pendamping hidup seperti Anca berarti memiliki azzam yang kuat untuk mendapatkan yang terbaik dalam salah satu sisi kehidupan

Tentu saja indikatornya bukan dari sisi materi saja, karena sesungguhnya Anca juga termasuk muslimah yang berkomitmen tinggi terhadap nilai-nilai ke-Islamannya. Anca adalah akhwat yang kuantitas materinya tidak melunturkan kadar kesholehannya sebagai hamba Rabb-nya. Sejak kecil sang ayah selalu membiasakan Anca dan kedua kakaknya untuk sholat 5 waktu. Maka wajar kalau Anca sudah menggunakan jilbab sejak duduk di bangku SMP. Kebiasaan menegakkan sholat 5 waktunya tidak pernah bermasalah walau sejak SMP Anca sudah memegang kartu kredit yang memudahkannya untuk mendapatkan segala sesuatu yang diinginkannya.

Tanda kasih dari sang ayah

Meski keluarga tinggal di kota Binjai, namun berkat anjuran dari sang ibunda akhirnya Anca memutuskan untuk bersekolah pada salah satu sekolah kejuruan akuntansi di kota Medan dan menetap di rumah bude[1] di Medan. Masa-masa di sekolah yang dalam lagu remaja digambarkan sebagai masa terindah juga sempat dirasakan oleh Anca, bahkan dia pun tidak mau menyia-nyiakan masa-masa indah ini. Karena jarak dari rumah Bude ke sekolah lumayan jauh, maka ayah menghadiahi Anca sebuah kereta[2] sebagai alat transportasi bagi Anca untuk pergi ke sekolah dan keperluan lainnya yang pada akhirnya kreta tersebut tidak hanya dipergunakannya untuk ke sekolah saja, tapi juga untuk bersuka ria dengan teman-temannya dengan segudang agenda remaja yang penuh dengan hura-hura dan suka cita.

Sejak duduk di bangku SMK, Anca memang tidak pernah melepas jilbab di hadapan non-mahramnya (walau Anca sering memakai celana jeans dan jarang memakai rok), Namun geliat jiwa remajanya juga tak mampu dibendung untuk disalurkan pada agenda2 remaja yang kebetulan juga rutin dilakukan oleh teman-teman sekolahnya. Yah, pergi ke café, karaoke, main ke plaza, piknik, adalah agenda yang sudah biasa dilakukan oleh Anca dan teman-temannya. Agak aneh juga, gadis cantik berjilbab tapi main-main ke karaoke yang tandus akan nilai-nilai agama. Bahkan bila dalam waktu-waktu sibuk mempersiapkan diri untuk ujian akhir semester yang biasa membuat teman-teman lupa, justru Anca lah yang menjadwalkan dan memaksa-maksa teman-temannya untuk tetap konsisten dengan rutinitas mereka. Yah, salah satu wujud sifat keras Anca adalah suka memaksakan kehendaknya pada siapa aja yang menghalangi dirinya atas apa yang disukai atau yang diinginkannya.

Secara de jure dan de facto, Anca diakui sebagai wanita tercantik di kelas Akuntansi 1 (Ak1) MMA/SMK UISU. Kecantikan itu pada akhirnya disempurnakan dengan tampilan pakaian kemuslimahannya. Namun pada masa-masa awal di sekolah, kemuslimahan Anca masih sekedar tampilan fisik saja. Lalu ada juga yang mengatakan Anca sebagai wanita tercantik di sekolah yang didominasi oleh kaum hawa itu. Tentu saja si pemberi pengakuan tersebut adalah para lelaki yang secara diam-diam maupun terang-terangan menyatakan ketertarikan mereka padanya. Salah satu dari laki-laki tersebut adalah ‘Darma’, yang kemudian menjadi salah satu siswa yang dekat dengannya. Secara diam-diam Darma mengakui kecantikan Anca dan bahkan selalu mendambakan kehadirannya dalam hari-harinya. Itulah yang kemudian menjadi alas an mengapa Darma -anak kelas sebelah (Ak2)- bisa sering-sering main di kelas Ak1 dan bahkan jalan-jalan berdua dengan Anca. Tak hanya itu, bahkan Darma juga termasuk salah satu bagian dari teman-teman akrab Anca yang biasa menghabiskan waktu bersama-sama teman lainnya di saat jam-jam istirahat maupun setelah pulang dari sekolah.

Di pagi yang cerah itu, sang Surya dengan gagah memamerkan kehebatannya dalam menghangatkan seluruh lapisan bumi. Kebeliaan Anca di sekolah yang masih kelas 1 memaksanya untuk belajar disiplin terhadap semua peraturan sekolah, termasuk jam masuk dan kerapian busananya. Setelah mandi dan berpakaian lengkap dengan jilbab sederhananya, Anca melangkah ke ruang makan, dan di sana Bude dan Pakde telah siap menunggunya untuk sarapan bersama. Hidup tanpa dikaruniai anak menjadikan Anca begitu disayang oleh Bude dan Pakde-nya seperti anak mereka sendiri. Walau pun ayah dan bunda tidak pernah melalaikan perhatian mereka terhadap segala kebutuhan Anca, namun tetap saja Pakde dan Bude selalu berusaha memberikan kelengkapan kebutuhan Anca, mulai dari sepatu, pakaian, perlengkapan sekolah, sampai aksesoris kamar tidur untuk Anca.

Setelah selesai sarapan, Anca pamitan kepada Pakde dan Bude dengan menyalami dan mencium tangan mereka dan bersegera menuju ke sekolah dengan kreta pemberian sang ayah. Di jalan, Anca tidak termasuk type pengendara yang ‘taat’. Tak jarang ia menyalip mobil yang sedang melaju di depannya, atau sesekali menerobos lampu merah. Perjalanan dari rumah ke sekolah memakan waktu kurang lebih 15-20 menit. Tak jarang bibirnya yang merah mungil itu terlihat komat-kamit melantunkan lagu-lagu Rosa kesukaannya sebagai kiat mengusir kejenuhan saat berkendara.

“Alhamdulillah… sampe juga” tuturnya dalam hati sambil memarkirkan kretanya di halaman parkir dan matanya jelalatan mencari-cari siapa tahu ada salah satu dari sohibnya yang juga baru tiba di sekolah. Dengan wajah penuh ingin tahu tentang corak asli sekolahnya, aTha mengayunkan langkah kakinya dengan santai. Sesampainya di ruang kelas, Anca mendapati Fatimah dan Arni –teman akrabnya- sedang berbagi cerita tentang sesuatu. Langsung aja wanita jelita ini menyantroni kedua temannya itu. “Ayooo…sedang cerita apa kalian, serius kali nampaknya? Siapa yang sedang dapat cowok baru?” Tanyanya sambil menggoda.

“Lho, kau gak lihat papan pengumuman tadi Ca? Si Desy kan dapat nilai tertinggi pelajaran Sejarah”, papar Imeh –panggilan untuk Fatimah- sambil memutarkan posisi badannya ke arah meja Anca yang berada tepat di belakangnya. “Dia dapat nilai 9, sedang aku cuma dapat 7,5. Arni nih yang sedih, cuma dapat nilai 7” jelas imeh dengan mimik serius. “Tapi bakal ada yang lebih sedih, kau tau siapa Ca?” Tanya Imeh pada Anca sambil berbisik.

“Siapa Meh?” tanya Anca penasaran. “si Opie, dia dapat nilai 5,5… Hua…ha…ha…” tawa menggema di ruang kelas. Tapi tiba-tiba Arni mengheningkan kembali kelas yang sempat rame dengan tawa mereka itu, “Jadi, kau belum tahu berapa nilai yang kau dapat, Ca?”

“Belum, emang tadi kau gak sempat ngeliat nilaiku, Meh?” Anca melemparkan penasarannya pada Imeh. “Aduh, sorry Ca, tadi aku gak teringat untuk ngelihat nilai kau…sorry yah…” aku Imeh dengan penuh rasa bersalah. “Ya udah, kalo gitu sekarang kita lihat aja yuk, kan bel sekolah masih 5 menit lagi, ayo…” cetus Arni. Lalu mereka bergegas ke papan pengumuman yang terletak di ujung lorong kelas mereka.

Sesampainya di depan papan pengunguman, Anca mencari-cari namanya dengan sangat seksama. Sesekali dia mencoba mengusir penasarannya dengan menyentuh-nyentuh tangkai dan bingkai kacamatanya dengan jari telunjuknya, tapi namanya tidak juga ditemukannya. Diulanginya lagi mencari dari nama yang paling atas hingga yang paling bawah, tapi tetap namanya tidak ada. “Kita jumpai Pak Abul di ruang guru yuk. Masa’ nilaiku gak ada? Aku kan kemaren ikut ujian…” ajak Anca pada temannya. Belum sempat usulan itu disetujui Arni berseru pada Anca, “Ini Ca…!!!” teriak Arni pada Anca sambil meletakkan ujung jari telunjuknya pada lembaran daftar nilai yang bersebelahan dari lembaran yang ditelusuri oleh Anca sebelumnya.

“Wah, dapat lapan…”, ujar Anca dan kawan-kawannya gembira diiringi dengan suara bel sekolah yang berdering sangat nyaring hingga menyelusup masuk ke dalam jantung. Akhirnya Anca dan kedua teman akrabnya membalikkan badan dan mengayunkan langkah kaki menuju ruang belajar dengan hati yang seluruh sisinya diwarnai kesenangan dan kesyukuran.

Bu Manurung, guru mata pelajaran Kewirausahaan memasuki kelas dan tanpa banyak basa basi proses belajar mengajar pun segera dimulai. Bu Manurung memang dikenal sebagai guru yang jarang bercanda dan serius saat memberikan pelajaran. Namun tata bahasa dan sistematisnya alur pelajaran yang diberikannya membuat Anca justru senang dengan sosok guru yang bertipikal ‘killer’ ini.

Pukul 10.00 bel sekolah mengingatkan para siswa bahwa waktu istirahat telah tiba. Seperti biasa, bila jam istirahat tiba Anca dan kawan-kawannya tidak langsung keluar kelas, bahkan sangat jarang menghabiskan waktu istirahat di luar kelas. Mereka lebih senang bercengkerama dan berbagi cerita di dalam kelas layaknya forum para pejabat yang sedang membahas masalah kenegaraan. Biasanya forum selalu diisi dengan gossip-gosip terkini yang sedang hangat-hangatnya untuk disampaikan dan didengar. Yah, mulai dari gossip teman yang dapat pacar baru, yang dapat kenalan baru, gossip tentang kebencian murid-murid terhadap guru tertentu, info kegiatan eks-kul, sampai kegiatan pribadi saat berada di rumah.

Anca adalah satu-satunya anggota rumpi yang sangat mempengaruhi kehangatan suasana rumpi. Sampai-sampai kawan-kawannya menjulukinya sebagai ketua geng rumpi, karena rumpi akan sangat ramai bila ada Anca, dan sebaliknya, rumpi akan landai , lesu dan gak bersemangat tanpa adanya Anca.

Setelah cerita ngolor-ngidul, tiba-tiba Anca teringat bahwa Desy mendapat nilai tertinggi mata pelajaran sejarah. “Eh, Des, kenapa kau diem-diem aja? Bukannya kau punya hutang yang harus kau bayar ke kami?”, sentak Anca ke Desy dengan wajah yang serius. Terang aja Desy bingung tujuh keliling dibuat pertanyaan Anca yang seolah-olah agak marah gitu.

Selain Imeh dan Arni, Desy juga merupakan kawan akrab Anca. Selain itu juga ada Nila yang kebetulan saat itu sedang duduk di sebelah Desy. Mereka berlima adalah anggota tetap Genk Rumpi selain kawan-kawan sekelas lainnya yang terkadang juga sering ikut bergabung dalam topic-topik gossip tertentu.

Sepasang-demi sepasang, mata teman-teman mulai beralih dari Anca menuju Desy. “Lho, emang aku punya hutang apa sama kalian Ca?”, tanya Desy minta penjelasan.

“ih, merasa gak punya utang lagi… ya udah, kalo gak mau bayar, bilang aja…!!!”, ancam Anca pada Desy. Sementara Imeh dan Arni -yang mengetahui tentang skenario yang dimainkan Anca itu- mulai gak tahan dengan drama yang dimainkannya itu akhirnya ketawa mulai meledak dari mulut Imeh.

“Ha…ha…ha…ha…ha……”, Arni pun akhirnya juga gak tahan menyimpan gelinya. Sementara Desy masih gak mengerti dengan apa yang terjadi. Akhirnya Anca berjalan menghampiri Desy dan meletakkan telapak tangan kirinya di atas bahu Desy yang masih duduk dengan penuh ketegangan. Dengan lembut aTha berkata pada Desy, “Des, kau bukan cuma dapat nilai tertinggi di antara kita-kita, tapi kau mendapat nilai tertinggi ulangan sejarah di kelas kita, kau dapat nilai 9 Des…”, ungkap Anca dengan sedikit meninggalkan pijatan-pijatan lembut di bahu Desy.

“Haaa… Sembilan…???”, jerit Desy dengan ekspresi setengah tak percaya “Yang benar lah woy.. Jangan main-mainin aku kenapa…!!!” ungkap Desy membakar ketidakpercayaannya.

“Ya udah, sekarang kita lihat aja di papan pengumuman, tapi setelah itu kita langsung ke kantin, gimana?” usul Anca mempersingkat skenario drama yang dimainkannya. Memang telah menjadi komitmen bersama di antara Genk Rumpi untuk mentraktir seluruh anggota Genk bila salah satu di antara mereka mendapatkan nilai ulangan tertinggi. Anca juga pernah mendapat nilai tertinggi pada mata pelajaran Bisnis dan Manajemen. Tapi anggota Genk yang lain tidak mau ditraktir di kantin, mereka minta ditraktir di Texas FC di Jalan Mongonsidi Polonia yang sering menjadi tempat mangkal mereka di sore dan malam hari.

“Oke!”jawab Desy dengan pasti. Lalu semua anggota Genk Rumpi pun melangkahkan kakinya menuju papan pengumuman sambil mulai mengaktifkan daya imajinasi di kepala masing-masing. Yah, berimajinasi untuk menghadirkan bayangan makanan-minuman yang akan dipesan setibanya di kantin nanti. “Ehm… masih dibayangi aja udah nikmat…”, ujar Arni di dalam hati.

Bunga Yang Merekah Tanpa Pagar

Malam itu jam dinding sudah menunjukkan pukul 9 malam, tapi Bude terus gelisah karena Anca belum juga pulang. Padahal tadi sore Anca mengatakan pada Bude hanya pergi sebentar kerumah Arni. Tapi tadi saat ditelepon, Anca mengatakan kalau dia sedang berada di Rock Café bersama kawan-kawannya. Di saat Bude mencoba bertanya jam berapa Anca akan pulang, Anca justeru mengusulkan agar Bude tidur aja duluan dan tidak usah menunggu-nunggunya karena dia sendiri tidak tahu jam berapa akan pulang.

Yah, begitulah kebiasaan Anca di saat akhir pekan. Selalu bersuka ria dan berfoya-foya dengan kawan-kawannya. Pernah suatu ketika Anca dimarahi oleh Pakde karena pulang jam 1 dini hari. Walau hanya bermain-main dengan kawan-kawannya, tapi itu sudah terlalu jauh untuk dilakukan oleh anak gadis seusia Anca. Namun Bude membela Anca dan meminta Pakde agar jangan memarahinya karena Bude takut dengan Bundanya Anca.

Bunda Anca tidak pernah memarah-marahinya dan bahkan Bunda pula lah yang mengajarkan Anca bagaimana caranya memanfaatkan uang yang berlebih untuk kebutuhan pribadi, kecantikan, dan yang lainnya. Maka tak jarang sewaktu masih di Binjai dulu Bunda sering mengajak Anca untuk pergi shoping ke mall dan plaza-plaza. Hampir tidak ada 1 toko boutique pun yang tidak pernah mereka kunjungi.

Mendengar Pakde yang memarahinya, Anca diam dan berlalu ke kamarnya tanpa memberikan jawaban sedikit pun. Anca berlalu setelah Bude mencoba membujuk Pakde untuk tidak memarahinya. Itu adalah kali pertamanya Anca dimarahi oleh Pakde selama tinggal di rumah itu.

Liburan semester kedua hampir tiba. Seperti biasa sekolah selalu mengadakan kegiatan di setiap liburan akhir tahun ajaran. Bagi siswa yang beragama Islam biasa diwajibkan mengikuti kegiatan Pelatihan keIslaman. Ada dua kegiatan Latihan KeIslaman yang diwajibkan oleh siswa untuk memilih salah satu di antaranya. Yaitu : Pesantren Kilat Rmadhan (SANLAT) yang biasa dilaksanakan pada liburan bulan suci Ramadhan, dan LDK (Latihan Dasar Kepemimpinan) yang dilaksanakan pada sertiap liburan akhir tahun ajaran.

Karena pada bulan Ramadhan lalu Anca tidak mengikuti Sanlat, maka kali ini dia wajib untuk mengikuti LDK. Di sinilah awal perkenalannya dengan Darma yang pada saat itu menjadi ketua panitia LDK. Darma sendiri adalah alumni Sanlat 1 semester sebelumnya. Peraturan yang berlaku di sekolah memang memberikan kewenangan kepada para peserta dan panitia untuk mendaulat alumni Sanlat menjadi panitia LDK ke depan, dan juga mendaulat alumni LDK menjadi panitia Sanlat semester berikutnya.

Anca adalah peserta yang paling aktif di dalam forum dialog dan diskusi. Tidak hanya itu, Anca juga kerap mengkritik panitia yang dinilainya terlalu lemah dan terlalu mengakomodir aspirasi alumni sekolah beserta tindakan-tindakan semena-menanya terhadap peserta. Tentu saja kritikan itu akan bermuara kepada sang ketua panitia, Darma. Memang sudah menjadi tradisi tanpa peraturan bagi alumni untuk menjual tampang di setiap kegiatan-kegiatan sekolah, terutama kegiatan Sanlat dan LDK ini.

Darma merupakan siswa seangkatan Anca yang berkelas tepat di sebelah kelas Anca. Seusai penutupan LDK, Anca melalui kesepakatan panitia dan peserta diangkat menjadi ketua Panitia untuk kegiatan Sanlat pada semester berikutnya, sementara Darma diangkat sebagai SC. Dan setelah kegiatan LDK itu, Darma terlihat sering main ke kelas Anca. Berawal dari tuntutan suksesi persiapan pelaksanaan Sanlat yang diketuai oleh Anca, Darma sering mengadakan komunikasi dengan Anca. Tingginya intensitas pertemuan dan komunikasi yang dijalin akhirnya membuat Darma pun menjadi satu-satunya anggota Genk Rumpi yang laki-laki. Padahal Darma dikenal sebagai siswa yang pintar, tampan, dan lahir dari keluarga yang kaya-raya. Kalaulah Anca dihadiahi kreta oleh ayah, maka Darma diberi kebebasan oleh ayahnya untuk membawa mobil ke sekolahnya. Sangat jarang Darma tidak ikut dalam agenda-agenda rutin Genk Rumpi. Mulai ngerumpi di kelas, istirahat di kantin, jalan-jalan ke mall atau plaza, ke café, sampai nonton di bioskop.

Kedekatan antara Anca dengan Darma banyak mengundang tanda tanya siswa di sekolah itu. Bagaimana tidak, Darma yang dikenal kaya dan sering gonta-ganti pacar itu bisa dekat dengan siswi yang cantik namun bengis itu. Anca sendiri tidak pernah ambil pusing dengan persepsi siswa-siswi yang lain. Baginya, dia dan Darma hanya kawan biasa, tidak lebih. Namun tentu saja hati tidak bisa ditebak, apa lagi dipaksa-paksa. Mungkin Anca yang kurang mau ambil pusing dengan kedekatan itu masih menganggap apa yang terjadi di antara dia dan Darma adalah lumrah. Tapi tentu saja tidak bagi Darma. Darma memanfaatkan kecuekan Anca atas hubungan mereka sebagai tameng untuk menutup-nutupi perasaan memilikinya terhadap Anca. Toh orang-orang semua tahu kalau dia sudah punya pacar yang mana pacarnya itu bukan Anca, sementara Anca sendiri tidak menganggap apa-apa atas hubungan itu melainkan pertemanan biasa. Namun sesungguhnya hubungan ini lebih cocok dikatakan sebagai bentuk ‘pacaran tanpa komitmen’

Lama kelamaan Anca dan Darma sering terlihat menikmati kedekatan tersebut, jalan-jalan berdua, nonton di bioskop berdua, bahkan Darma sempat mengajari Anca menyetir mobil. Tapi sekali lagi, bagi Anca itu adalah sesuatu yang lumrah. Bahkan Darma sempat diminta putus oleh pacarnya karena cemburu melihat kedekatan Darma dengan Anca. Bagaimana tidak, Darma sering mendahulukan kepentingan Anca dari pada kepentingan pacarnya dan bahkan dirinya sendiri.

Bulan Suci Pembawa Cahaya

Bulan suci Ramadhan tiba, Sanlat pun digelar selama 6 hari dengan menginap di sekolah. Tentu saja Anca tidak mendapat izin dari bundanya yang ‘over care’ itu untuk tidur di sekolah karena tidak memiliki fasilitas yang layak bagi putri tunggalnya. Maka apabila kegiatan malam hari sudah selesai barulah Anca pulang kerumah. Karena dianggap terlalu berbahaya pulang malam dengan menggunakan kereta, maka Darma mengizinkan Anca untuk menggunakan mobilnya saat akan pulang di setiap malam-malam Sanlat.

Berbeda dengan pelaksanaan Sanlat-sanlat sebelumnya. Sanlat kali ini lebih banyak di-cover oleh para alumni yang berafiliasi terhadap gerakan dakwah. Kondisi ini memotivasi Kak Indah –alumni tahun 2001- dan kawan-kawannya untuk merancang terobosan baru di sekolah itu untuk bisa mengintegrasikan gerakan dakwah di dalam sekolah. Tidak sia-sia, upaya melakukan lobby kepada guru Agama Islam dan Kepala Sekolah akhirnya membuahkan persetujuan pelaksanaan Mentoring di sekolah tersebut.

Tidak hanya peserta Sanlat yang diwajibkan ikut program mentoring, tapi panitia juga diwajibkan melalui instruksi guru agama dan Kepala Sekolah. Inilah tahun pertama Anca mengikuti mentoring. Pada awal-awal ikut mentoring, Anca masih terlihat sangat akrab dengan Darma. Namun melalui serangkaian materi-materi keIslaman yang didapatkan Anca secara sistematis di mentoring, lambat laun menyadarkan Anca terhadap apa yang telah dan yang sedang dilakukannya selama ini. Akhirnya Anca pun bertekad untuk mengurangi dan menjauhi Darma sedikit demi sedikit sampai akhirnya Anca memberanikan diri untuk angkat bicara tentang hubungan mereka selama ini. Tentu saja Darma tidak berani menolak permintaan Anca untuk menjaga jarak dalam berinteraksi dengannya. Begitu juga dengan Genk Rumpinya, semakin lama semakin sunyi. Karena seluruh anggota Genk Rumpi juga ikut mentoring. Walau tetap saja ada 2 atau 3 orang dari Genk tersebut tidak tertarik dengan kegiatan mentoring tersebut.

Secara bertahap namun pasti, Anca mulai menata hidupnya sesuai dengan arahan agama yang diyakininya sebagai kebenaran mutlak namun selama ini telah ditinggalkannya. Bahkan Anca tidak lagi menganggap mentoring sebagai suatu kewajiban melainkan sebagai sebuah kebutuhan dalam hidupnya. Lambat laun mentoring telah mengubah sosok Anca yang dikenal bengis, asal ngomong, suka hura-hura, keluyuran tak ingat waktu dan tak peduli tempat, kini menjadi seorang muslimah yang selalu semangat dalam aktivitas-aktivitas keIslaman, santun dalam bergaul, ramah pada teman-temannya. Bahkan kini Anca rajin bangun di sepertiga malam terakhirnya untuk mendirikan shalat malam, bertaqarub dengan Rabbnya. Tilawah Al-Qur’an sudah menjadi aktivitas rutinnya di setiap selesai shalat wajib ataupun di saat guru kelas tidak masuk mengajar.

Belum genap 1 tahun mengikuti mentoring, keluarga yang di Binjai pindah ke kota Medan karena sang ayah berniat melakukan ekspansi usaha panglong[3]-nya. Setelah itu Anca pun kembali tinggal bersama keluarga tercinta. Betapa terkejut dan kagumnya ayah melihat perubahan yang terjadi pada putri tunggalnya itu. “Ayah sekarang seneng kali lihat Adek[4]. Sekarang Adek tidak pernah lagi keluar rumah pada malam hari, selalu melaksanakan sholat tepat di awal waktu, bahkan kini ayah tidak pernah lagi repot-repot membangunkan Adek untuk sholat subuh”, demikian pengakuan ayah pada Anca saat makan malam. “Kalau aja kedua abangmu itu tinggal di rumah ini, pasti mereka bangga melihat adeknya sekarang udah jadi wanita sholehah kayak sekarang ini”, sambung ayah beberapa saat setelah menyeka mulutnya dengan serbet seusai menyelesaikan makannya.

Anca tersenyum tenang sambil menjawab, “tapi adek masih tetap boleh kan maksa-maksa ayah belie s krim untuk adek kalo adek pengen…???”, canda Anca pada ayahnya.

Tapi tidak demikian halnya pada Bunda. Bunda justeru kesal karena kini Anca sudah jarang mau diajak shoping ke mall, ikut arisan, dan kegiatan Bunda lainnya yang dulu sangat digemari oleh Anca. Kendati pun demikian, Bunda masih tetap sayang pada anaknya yang dibanggakan kecantikannya itu. Bunda sering mengatakan pada Anca bahwa Anca itu sangat cantik, persis seperti Bunda sewaktu masih muda dulu. Makanya Bunda selalu mengatakan pada Anca bahwa kecantikan yang dimiliki oleh Anca saat ini adalah warisan dari Bunda. “Makanya adek gak boleh melawan Bunda, apa pun yang Bunda lakukan pasti itu demi kebaikan adek juga, ya sayang…”, rayu Bunda pada Anca dengan maksud agar Anca tetap mau mengikuti kebiasaan Bundanya itu.

Rumahku Surgaku

Malam itu rumah Anca sangat berbeda dari malam-malam biasanya. Sabtu malam minggu memang biasa dimanfaatkan oleh keluarga untuk membina kembali romantisme keluarga yang mungkin sempat pudar selama sepekan terakhir. Kedua abang Anca -Bang Rian dan Bang Adi- beserta istri dan anak-anak mereka selalu datang ke rumah untuk bercengkerama dengan ayah, bunda dan Anca karena setelah menikah mereka berdua membina keluarga sendiri dengan membeli dan tinggal di rumah sendiri yang tidak begitu jauh dari rumah ayah.

Bang Rian main catur dengan ayah, di samping ayah terlihat Bang Adi duduk seperti pengamat dan komentator pertandingan sambil menunggu giliran menggantikan pemain yang kalah. Anca dan Bunda menonton TV bersama anak-anak Bang Adi dan Bang Rian yang imut-imut. Sementara kedua kakak ipar Anca sibuk menjadi seksi konsumsi membantu Bibi[5] di dapur. Sesekali terdengar suara gelak tawa dari ayah dan kedua abangnya. Anak-anak mereka pun tidak habis-habisnya bermain, berlari sambil mengeluarkan ocehan-ocehan, tawa, jeritan-jeritan kecil dan sesekali ada pula yang menangis.

Berkali-kali Anca memperhatikan ayah dan kedua abangnya, bunda dan keponakan-keponakannya. Matanya berkaca-kaca di balik kacamatanya. Rasa haru menyelimuti hati dan perasaannya. Dia begitu bersyukur pada Allah yang telah menghadiahkan padanya sebuah keluarga yang bahagia. Rasa-rasanya dia baru saja dilahirkan di keluarga ini. Dia jadi merasa begitu menyesal karena dulu saat momen-momen ini hadir dia justeru menghabiskan waktu di luar rumah bersama teman-temannya berhura-hura. Kini kebahagiaan itu telah hadir dalam hidupnya, maka tidak akan pernah dilepaskannya meski sesaat.



[1] Adik ayah

[2] sebutan yang dipakai orang medan untuk mengistilahkan sepeda motor

[3] Toko besi dan bahan-bahan bangunan

[4] Panggilan Anca di keluarga

[5] Pembantu Keluarga Anca yang juga tinggal di rumah Anca sejak Bang Adi masih bayi