Biodata

Foto saya
Lifestyle of Medan's People, Do You Want to Beat it...???

24 Maret 2009

“Peluhku di Kota Medan”

Angin hangat masih menyisakan hembusannya di antara gang-gang kecil di sore itu. Kicau burung kutilang yang terbang tak memiliki tuan sesekali menambah kekuatan bagi pendengarnya untuk semakin menyatu dengan alam ciptaan-Nya yang damai. Canda tawa anak-anak tetangga yang bermain riuh di sepetak tanah kosong milik sang ayah seolah melengkapi objek pemandangan rutinnya hampir di setiap sore. Terkadang mereka tertawa terbahak-bahak, terkadang ada yang marah, dan tak jarang ada yang menangis karena terjatuh saat berlari atau bahkan hanya karena tidak diajak bermain ‘sambar elang’ bersama teman-teman yang lain.
Sungguh merupakan masa yang indah. Bermain dengan penuh kegembiraan tanpa beban. Ingin rasanya kembali ke masa-masa itu. Namun seketika itu pula alam bawah sadarnya me’rewind’ ingatan masa lalunya yang kelam enam tahun yang lalu. Menjadi junkie memang bukan murni keinginannya. Pergulatan yang terjadi di dalam jiwanya dalam mencari jati diri seakan disalaharahkan oleh lingkungan pergaulan yang hampa akan nilai-nilai kebenaran. Hampir tiadanya ‘control’ keluarga, pada akhirnya membuatnya terjerumus ke dalam dunia user tersebut.
Namun kini ia bersyukur atas nikmat-Nya karena sejak tahun 2004 ia telah mampu menemukan jalan yang lurus setelah lima tahun terjerat di dalam lingkaran hitam yang penuh dengan nista dan kemaksiatan. “Sungguh, hidup ini penuh dengan lautan warna-warni kehidupan dan segunung pelajaran bagi orang-orang yang mau berfikir…” ungkapnya dalam hati sambil menarik nafas panjang.
Segelas teh manis hangat disiapkan di meja bersama gitar akustik dipelukannya. Dengan penuh ketenangan dilantunkannya lagu-lagu favouritenya yang dikuasainya dengan baik.
Menjelang adzan maghrib, Uya pun mandi dan berangkat menuju masjid Al-Ikhlas yang berkisar 200 meter dari rumahnya. Setelah sholat Maghrib, biasanya Uya akan pulang ke rumah untuk makan malam sebelum waktu isya masuk. Namun bila tidak memungkinkan, maka makan malam harus ditunda setelah selesai sholat isya. Sengaja Uya menempatkan waktu makan malam pada rentang waktu antara maghrib dan isya, karena agenda-agenda dadakan sering muncul setelah selesai sholat isya.
----- ***** -----
Malam itu udara terasa sangat sejuk setelah hujan membasahi bumi dan meninggalkan nuansa ‘adem’ di tiap jengkal tanah yg dilaluinya. Pandangannya tertuju pada sudut gang menuju rumahnya. Tujuh orang anak muda terlihat sedang asyik menikmati racikan ‘cimeng’ yang dibalut dalam lintingan rokok setelah sebelumnya mereka ‘giting’ akibat suntikan putaw. Dulu ia adalah salah satu di antara mereka, namun sekarang tidak lagi.
Mencium aromanya saja sudah membuatnya pusing dan mual. Sesegera mungkin ia mempercepat langkahnya untuk bisa berlalu dari aroma yang menyesakkan dadanya itu.
“Yak…” terdengar suara Rijal datang dari arah yang dibencinya itu. “Oi, ada apa?” jawabnya dengan posisi renggang 20 meter dari mereka. “sini dulu, sombong kali pun kau…” agak keras suara Rijal memaksanya untuk datang ke tempat yang membuatnya pusing itu.
“Ada apa Jal?” tanyanya bersahabat. “Dari mana kau, Yak?” tanya Rijal basa-basi. “Dari masjid, sholat isya tadi. Ada apa Jal?” Uya mengulang pertanyaannya dengan nada to the point. ”Ini, uang kami kurang ‘goceng’ lagi, tambahin lah dulu Yak…” jelas Rijal sambil menggengam beberapa lembar uang ribuan di tangan kirinya seperti kondektur angkot.
“Emang untuk apa Jal?” tanya Uya pura-pura tak mengerti. “Eee…hm…ini, untuk nambah-nambahi beli ‘cimeng’…” paparnya dengan sedikit ragu dan bahasa yang agak bergetar.
Ada sekitar 10 detik Uya tidak menjawab sambil menatap tajam ke arah Yakub dan kawan-kawan lainnya yang juga mengikuti dialog mereka.
“Kau tau kan aku udah gak make-make lagi, Jal? Kalo aku menganggap perbuatan ini gak benar untuk diriku, ya aku pun gak akan mungkin membantu kau dan yang lain untuk melakukan itu…”. Semua yang ada di situ merasa sangat terpukul oleh kalimat Uya, terutama Rijal.
“Ya tapi kau kan gak ikut ngisap, cuma nambahin aja, ya semacam infaq lah…” canda Rijal mencoba mencairkan suasana yang mengundang tawa ringan dari beberapa kawan yang lain.
“Infaq itu hanya untuk yang benar dan dengan cara yang benar. Infaq juga gak selalu harus dengan uang. Aku sekarang ini sedang berinfaq untuk kalian dengan perkataan” timpal Uya serius. “Ya udah lah, kalo gak mau ngasih. Gak usah pake acara ceramah-ceramah gitu…” jawab Rijal kesal dengan wajah cemberut bercampur sedikit emosi sambil membalikkan badannya meninggalkan Uya menuju kawan-kawan lainnya. Sebenarnya Uya lebih tua 5 tahun dari Rijal dan kawan-kawan yang lainnya. Namun tidak terlihat ada nuansa hormat dari mereka pada Uya hanya karena dulu mereka pernah ‘satu meja’ dengan Uya dan diperparah dengan berhentinya Uya dari dunia narkoba itu yang lantas membuat mereka sedikit membenci dan semakin tidak sopan padanya
----- ***** -----
Di hari minggu, seperti biasa Uya lebih banyak menghabiskan waktunya untuk membaca buku di rumah. Atau bahkan terkadang hampir tidak terlihat sama sekali di rumah dari pagi hingga malam karena aktivitas yang diikutinya di beberapa organisasi ke-Islam-an di kampus dan masjid dekat rumahnya.
Setelah berhenti dari kencanduan narkoba, Uya mencoba melibatkan diri dalam agenda-agenda ke-Islam-an. Salah satunya adalah masuk organisasi kemahasiswaan di kampus dan Remaja Masjid dekat rumahnya.
----- ***** -----
Entah karena loyalitas yang tinggi atau karena ada alasan yang lain, tapi yang pasti teman-teman lama Uya di ‘dunia hitam’ kini semakin membencinya. Pernah suatu ketika di saat Uya berjalan menuju masjid untuk sholat isya, salah satu dari mereka melemparkan batu tepat di depan kaki Uya yang sedang melangkah. Namun Uya tidak mau menghiraukannya, ia hanya menoleh sekilas sambil tetap melangkahkan kakinya.
Keesokan harinya Uya sedang mengendarai ‘kereta’nya dari kampus menuju rumah. Ketika di Simpang Limun ia menyaksikan kerumunan orang sedang berdesak-desakan menyaksikan sebuah perkelahian. Massa yang menonton membentuk arena bagi dua orang yang berkelahi seolah tidak berniat untuk melerai bahkan terlihat asyik menikmati aksi pertarungan Gladiator tersebut.
Uya lalu memarkirkan ‘kereta’nya dan berusaha mencari tahu apa yang sedang terjadi. Belum sempat ia bertanya pada salah seorang di situ, matanya tertuju pada dua sosok pemuda yang saling ‘adu jotos’ tersebut. Dilihatnya dengan lebih seksama, “Ya Robbi… Rijal…” teriaknya seraya menerobos barisan kerumunan. Segera ditariknya rival Rijal dari atas tubuhnya lalu dihampirinya Rijal yang sudah tersungkur di tanah dengan wajah dan baju yang berlumuran darah.
“Hey, Yak… Ngapain kau tolongin preman kampung itu?” teriak rival Rijal tadi kepadanya. Dipalingkan wajahnya ke arah asal suara tersebut. Ternyata beliau adalah Bang Jangual, kepala preman Simpang Limun yang juga kenal baik dengan Uya.
“Eh, Bang, apa salah dia sampe abang hajar babak belur gini? Tanya Uya cemas pada Jangual sambil melindungi tubuh Rijal dari kemungkinan serangan lanjutan dari Jangual. “Dia coba-coba melarikan uang anak buahku yang mau beli putaw. Dia belum tahu siapa aku, biarin aja Yak, biar dia tahu siapa aku…” jelas Jangual dengan emosi sambil berusaha mendaratkan pukulan di kepala Rijal. Secepat kilat Uya menangkap dan memeluk tubuh Jangual dan mengajaknya menjauh dari Rijal. Mungkin Rijal terkejut, bagaimana mungkin Uya berani meredakan keamarahan kepala preman itu.
Dulu Uya memang sempat bermain di Simpang Limun. Jangual sangat menyukainya bahkan menyayanginya. Uya dikenal oleh preman-preman lain di Simpang Limun sebagai adiknya Jangual. Jangual sendiri yang mengatakan itu pada preman lainnya. Bahkan Jangual pernah mengancam, siapa aja yang berani menyakiti Uya maka akan berhadapan dengan Jangual.
Alhasil, terselamatkanlah Rijal dari amukan preman Simpang Limun tersebut karena kehadiran Uya di situ. Setelah semua urusan ditengahi oleh Uya, akhirnya Rijal pun dibawa berobat ke klinik terdekat sebelum akhirnya diantarkan pulang ke rumahnya.
Semenjak kejadian itu, Rijal menjadi malu pada dirinya dan pada Uya. Tak pernah dipikirkan olehnya kalau orang baik-baik yang selama ini dibencinya justeru menolongnya dari ancaman maut. Kini tidak satu pun para pemabuk di dekat rumahnya yang berkelakuan kasar padanya. Bahkan mereka kini berusaha menyembunyikan mabuknya disaat bertemu dengan Uya. Uya hanya senyum-senyum melihat gelagat teman-temannya itu. Dia hanya berharap semoga suatu saat kelak Allah berkenan memberi hidayah pada mereka dan mempertemukan mereka dalam sebuah ikatan persaudaraan di atas tali agama Allah, semoga saja…


Keterangan:
Gang : jalan setapak sejenis lorong
Sambar elang : Permainan khas anak-anak di medan yang dimainkan oleh banyak orang, dimana ada 1 anak yang bertugas sebagai elang sementara yang lainnya berperan sebagai ayam/kelinci yang harus menyelamatkan dari dari sergapan sang elang. Siapa yang tertangkap/tersentuh oleh si elang, maka ia menjadi elang berikutnya.
Junkie / User : pencandu/pemakai narkoba
Cimeng : istilah gaul untuk ganja
Giting : separuh kehilangan kesadaran (atau bahkan lebih) setelah mengkonsumsi putaw. Serasa tubuh terbang tinggi di awang-awang yang kemudia diistilahkan dengan membalikkan suku katanya (tinggi-giting)
Goceng : istilah yang diadopsi dari bahasa Tiong Hwa untuk menyebutkan jumlah uang lima ribu rupiah.
Satu meja : sebutan lazim anak Medan untuk mengistilahkan pernah duduk / gabung bersama
Kreta/kereta : sebutan lazim orang medan untuk mengatakan sepeda motor
Rival : lawan

1 komentar:

Anonim mengatakan...

salam kenal yah
artikelnya bagus
http://f4dLyfri3nds.blogspot.com