Biodata

Foto saya
Lifestyle of Medan's People, Do You Want to Beat it...???

29 Maret 2010

MUHAMMAD adalah Nabi Ummat Hindu

Kawula-Gusti New Delhi, India

Seorang professor bahasa dari ALAHABAD UNIVERSITY INDIA dalam salah satu buku terakhirnya berjudul "KALKY AUTAR" (Petunjuk Yang Maha Agung) yang baru diterbitkan memuat sebuah pernyataan yang sangat mengagetkan kalangan intelektual Hindu.

Sang professor secara terbuka dan dengan alasan-alasan ilmiah, mengajak para penganut Hindu untuk segera memeluk agama Islam dan sekaligus mengimani risalah yang dibawa oleh Rasulullah saw, karena menurutnya, sebenarnya Muhammad Rasulullah saw adalah sosok yang dinanti-nantikan sebagai sosok pembaharu spiritual.

Prof. WAID BARKASH (penulis buku) yang masih berstatus pendeta besar kaum Brahmana mengatakan bahwa ia telah menyerahkan hasil kajiannya kepada delapan pendeta besar kaum Hindu dan mereka semuanya menyetujui kesimpulan dan ajakan yang telah dinyatakan di dalam buku. Semua kriteria yang disebutkan dalam buku suci kaum Hindu (Wedha) tentang ciri-ciri "KALKY AUTAR" sama persis dengan ciri-ciri yang dimiliki oleh Rasulullah Saw.

Dalam ajaran Hindu disebutkan mengenai ciri KALKY AUTAR diantaranya, bahwa dia akan dilahirkan di jazirah, bapaknya bernama SYANUYIHKAT dan ibunya bernama SUMANEB. Dalam bahasa sansekerta kata SYANUYIHKAT adalah paduan dua kata yaitu SYANU artinya ALLAH sedangkan YAHKAT artinya anak laki atau hamba yang dalam bahasa Arab disebut ABDUN.

Dengan demikian kata SYANUYIHKAT artinya "ABDULLAH". Demikian juga kata SUMANEB yang dalam bahasa sansekerta artinya AMANA atau AMAAN yang terjemahan bahasa Arabnya "AMINAH". Sementara semua orang tahu bahwa nama bapak Rasulullah Saw adalah ABDULLAH dan nama ibunya MINAH.

Dalam kitab Wedha juga disebutkan bahwa Tuhan akan mengirim utusan-Nya kedalam sebiuah goa untuk mengajarkan KALKY AUTAR (Petunjuk Yang Maha Agung). Cerita yang disebut dalam kitab Wedha ini mengingatkan akan kejadian di Gua Hira saat Rasulullah didatangi malaikat Jibril untuk mengajarkan kepadanya wahyu tentang Islam.

Bukti lain yang dikemukakan oleh Prof Barkash bahwa kitab Wedha juga menceritakan bahwa Tuhan akan memberikan Kalky Autar seekor kuda yang larinya sangat cepat yang membawa kalky Autar mengelilingi tujuh lapis langit. Ini merupakan isyarat langsung kejadian Isra' Mi'raj dimana Rasullah mengendarai Buroq

Dikutip buletin Aktualita Dunia Islam no 58/II Pekan III/februari 1998

26 Maret 2010

Tahukah Anda Bahwa Dunia Pernah Kehilangan 11 Hari pada Tahun 1752...???

Sistem Julian diubah Menjadi Gregorian

Di bulan September 1752 sistem penanggalan Julian digantikan dengan sistem penanggalan Gregorian di Inggris dan daerah jajahannya di Amerika. Sistem penanggalan Julian lebih lambat 11 hari dari sistem penanggalan Gregorian. Jadi tanggal 14 September adalah tanggal sesudah 2 September pada saat hari penggantian. Hasilnya dari tanggal 3 September sampai 13 September benar-benar tidak terjadi apa-apa atau kosong.

Penggantian sistem penanggalan juga berakibat pada perayaan ulang tahun George Washington. Dia lahir pada tanggal 11 Februari 1731, tapi perayaannya dilaksanakan pada tanggal 22 Februari karena ada pengurangan 11 hari padaclass
saat penggantian sistem penanggalan. Pada saat yang bersamaan, perayaan Tahun Baru diganti dari tanggal 25 Maret ke tanggal 1 Januari, jadi sesuai dengan sistem penanggalan yang baru, Washington dilahirkan pada tahun 1732.

Sistem penanggalan Romawi yang pertama memiliki 10 bulan dan 304 hari dalam satu tahun dimulai dengan bulan Maret. Januari dan Februari ditambahkan belakangan. Di tahun 46 sebelum Masehi, Julius Caesar membuat “Tahun Membingungkan” dengan menambahkan 80 hari dalam satu tahun dan menjadikannya 445 hari untuk menyesuaikan penanggalan dengan musim yang sedang berlangsung.

Tahun matahari – yang terdiri dari 365 hari dan 6 jam – digunakan sebagai dasar perhitungan sistem penanggalan. Untuk menjaga sisa waktu 6 jam, setiap empat tahun sekali jumlah hari dalam satu tahun menjadi 366 hari. Karena itulah Caesar mengeluarkan keputusan bahwa hari pertama di bulan Januari sebagai awal tahun.

Di tahun 325 sesudah masehi Constantine yang Agung, penguasa Roma pertama yang memeluk agama Nasrani, memperkenalkan hari Minggu sebagai hari yang suci untuk setiap 7 hari. Dia juga memperkenalkan Paskah (yang harinya berpindah-pindah setiap tahun) dan Hari Natal (yang harinya tetap setiap tahun).

Pada tahun 1545 Dewan dari Trent diberi kuasa oleh Paus Paulus III untuk merevisi sistem penanggalan sekali lagi. Dengan masukan dari seorang astronom Pastor Father Christopher Clavius dan fisikawan Aloysius Lilius, Paus Gregorius XIII memerintahkan bahwa Kamis, 4 Oktober 1582 adalah hari terakhir dari sistem penanggalan Julian. Hari berikutnya adalah Jumat, 15 Oktober.



Tahun Kabisat

Untuk ketelitian jangka panjang, setiap 4 tahun dibuat melompat satu tahun kecuali jika tahun itu adalah tahun pergantian abad seperti 1700 atau 1800. Tahun pergantian abad dapat dilompati jika tahun tersebut dapat dibagi dengan empat ratus (misalnya 1600). Aturan ini menyisihkan tiga tahun lompatan setiap empat abad, membuat sistem penanggalan menjadi cukup akurat untuk tujuan umum.

Kaum Protestan tidak menghiraukan sistem penanggalan baru yang diperintahkan oleh Paus. Itu berlangsung sampai tahun 1698 saat Jerman dan Belanda mengganti sistem penanggalan mereka dengan penanggalan Gregorian. Seperti yang telah disebutkan, Inggris mengadakan pergantian pada tahun 1752. Rusia mengadopsi sistem penanggalan baru di tahun 1918 dan Cina di tahun 1949.

Tanpa menghiraukan tahun lompatan, tahun Gregorian sekitar 26 detik lebih panjang dibandingkan periode orbit bumi. Jadi millenium ketiga dimulai pada jam 09.01 malam tanggal 31 Desember 1999. Tetapi sebelum anda lega, ingat bahwa penanggalan Gregorian dimulai dengan tahun 1 dan bukan tahun 0. Dengan menambahkan 2000 tahun berarti bahwa milenium ke tiga dimulai pada jam 21 lebih 34 detik pada tanggal 31 Desember 2000.

Bagaimanapun, karena Dionysis Exeguus – seorang rahib abad ke 6 yang mengganti sistem penanggalan berdasarkan kelahiran Yesus Kristus – salah melakukan perhitungan atas ditemukannya Roma sekitar 4 tahun (dan mengabaikan tahun 0), jadi MILENIUM KE TIGA yang sebenarnya dimulai pada tanggal 31 December 1995.

NB :
Sistem 24 jam sehari diperkenalkan pada abad ke 4 sebelum masehi oleh bangsa Sumero-Babylon.

Di tahun 1905 Einstein membuktikan dalam teori relativitasnya bahwa kecepatan waktu tergantung dari pergerakan suatu benda, jadi semakin cepat suatu benda bergerak maka waktu yang berjalan akan semakin lambat.

Di tahun 1972, pengukuran waktu berdasarkan sistem Atom (Atomic time) menjadi standar resmi dunia untuk pengukuran waktu sesuai kesepakatan Co-ordinated Universal Time (UTC)

sumber : http://www.kaskus.us/showthread.php?t=3701958

25 Maret 2010

No Leaf Clover

By : METALLICA


And it feels right this time
On his crash course with the big time
Paid no mind to the distant thunder
Today filled his head with wonder... boy

Says it feels right this time
Turn around and found the light lime
Good day to be alive... sir
Good day to be alive he said


Then it comes to be that the soothing light
At the end of your tunnel
Was just a freight train comin your way
Then it comes to be that the soothing light
At the end of your tunnel
Was just a freight train comin your way

Don't it feel right like this
All the pieces fall to his wish
Sucker for that quick reward... boy
Sucker for that quick reward they said

Then it comes to be that the soothing light
At the end of your tunnel
Was just a freight train comin your way
Then it comes to be that the soothing light
At the end of your tunnel
Was just a freight train comin your way
It's comin' your way
It's comin your way
It comes!

Then it comes to be that the soothing light
At the end of your tunnel
Was just a freight train comin your way

Then it comes to be... yeah

20 Maret 2010

UISU-KU SAYANG, UISU-KU MALANG

Sepulangnya dari gua Hira’ setelah mendapat wahyu pertama, Nabi SAW pulang ke rumahnya dengan badan bergemetar dan suhu badan yang panas-dingin tidak menentu. Setelah sampai di pembaringan Beliau berkata pada istrinya Siti Khadijah, “Sungguh, telah terjadi sesuatu yang mengerikan. Aku takut akan terjadi sesuatu yang buruk menimpaku”. Sambil menyelimuti badan suaminya, Khadijah berkata dengan penuh keyakinan, “Tidak, tidak mungkin. Engkau adalah orang yang baik, suka menyambung tali silaturahim, ikut membawakan beban orang lain, memberi makan orang miskin, menjamu tamu dan menolong orang yang menegakkan kebenaran” (Sirah Nabawiyah, Syeikh Shafiyyurahman Al Mubarakfury)

Salah satu kunci kegemilangan suatu bangsa tentu kita ketahui bahwa ilmu adalah jawabannya. Kendati pun demikian selanjutnya kita tidak menafikkan bahwa eksistensi iman juga merupakan salah satu kuci utama pula yang turut menentukan peradaban bangsa itu sendiri. Dalam hadhits shahih Bukhari diriwayatkan Nabi SAW bersabda, “Barang siapa hendak menguasai dunia, hendaklah dengan ilmu. Barang siapa hendak menguasai akhirat, hendaklah dengan ilmu. Barang siapa hendak menguasai kedua-duanya, hendaklah dengan ilmu (juga)”.

Dunia pendidikan yang merupakan perwujudan sebagai perpustakaan keilmuan merupakan sebuah sisi kehidupan yang teramat penting bagi semua kalangan umat manusia. Atas dasar inilah urgensi pertumbuhan dan penataan serta perawatan lembaga-lembaga pendidikan formal dan non formal harus senantiasa kita upayakan secara bersama. Karena bisa jadi, ketidakacuhan kita terhadap perkembangan dunia pendidikan - terutama pendidikan anak-anak kita - justru akan mengakibatkan kebobrokan mental, degradasi intelektualitas dan dekadensi akhlak pada generasi mendatang. Bahkan yang lebih dikhawatirkan adalah terjadinya kehancuran karena keleluasaan negara atau pihak asing yang ambisius dan memanfaatkan kondisi negatif negeri ini hingga berlangsunglah penjajahan modern, di mana pada saat itu kita baru menyadari bahwa kita telah menjadi budak di negeri kita sendiri.

Kehancuran dunia pendidikan tentu saja bisa dilihat dari kehancuran lembaga-lembaga pendidikan yang ada di dalamnya. Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) merupakan salah satu contoh riilnya. Seperti yang sering kita dengar bahwa UISU merupakan universitas tertua di luar pulau Jawa, maka dengan itu, segudang catatan mengagumkan dari para pendiri dan pengelola bahkan alumninya pun selayaknya berbanding lurus dengan kedigjayaannya tersebut. Namun seolah itu semua hanya menjadi lagu lama yang tinggal kenangan. UISU kini sedang kesakitan, bahkan kritis. Mahasiswa meradang karena secara de jure UISU itu satu, namun secara de facto ada dua lembaga pendidikan tinggi yang menyelenggarakan aktivitas perkuliahan yang kedua-duanya saling berebut dan mengklaim bahwa merekalah penyelenggara UISU yang sah!

Tanpa bermaksud memasuki ranah hukum dan melakukan pembelaan kepada salah satu pihak, di sini penulis sebagai alumni ingin mengetuk pintu hati seluruh lapisan dan elemen yang ada di kedua lembaga ini, bahwa ada sisi-sisi moral dan kemanusiaan yang - secara sengaja atau tidak - telah kita abaikan. Upaya-upaya pembelaan kebenaran yang dilakukan justru telah membawa nama besar kampus ini semakin jauh ke dalam jurang hitam. Secara pasti, penurunan jumlah mahasiswa yang masuk menurun drastis. Hal ini mengakibatkan terjadinya penurunan income dari masing-masing pihak. Lalu praktek-praktek kotor dan tidak sehat pun mulai menjamur di kampus yang katanya Islami ini. Realitas tingginya kebutuhan hidup dari para pegawai bisa saja dijadikan alasan atas terpeliharanya fenomena ini. Namun, kecenderungan masyarakat yang diwakilkan oleh mahasiswa di kampusnya yang sudah sedemikian individualis dan budaya “yang penting urusan cepat beres” telah menyempurnakan keabsahan eksistensi dari praktek-praktek tidak sehat itu. Alhasil, kampus Islami kini hanya tinggal nama. Yang ada hanyalah kemunafikan, aksi menipu diri sendiri, dan bahkan membodohi diri sendiri.

Di sisi yang lain, kita akan menjumpai sebuah kondisi yang amat menyedihkan. Para pegawai yang dulunya adalah teman akrab kini menjadi musuh besar setelah terjadinya perpecahan. Padahal sebenarnya secara langsung mereka tidak terlibat dalam urusan yang selayaknya diurusi oleh para elit kampus ini. Namun upaya tarik-menarik calon mahasiswa yang terjadi di antara ke duanya telah melahirkan sikap saling membenci, terdahulukannya buruk sangka, ghibah, dendam, terputusnya silaturahmi, dan sebagainya


Penggalan kisah awal turunnya wahyu Allah kepada Muhammad SAW di atas menggambarkan bagaimana Khadijah yang digambarkan dalam banyak tulisan sebagai “The True Love of Muhammad” begitu meyakini bahwa orang-orang yang senantiasa menjaga dan menyambung tali persaudaraan (silaturahmi) tidak akan ditimpa keburukan dari Tuhannya. Lalu mengapa hanya karena untuk urusan duniawi atau bahkan sekedar untuk memenuhi kebutuhan sejengkal di perut ini kita berani dan tega memutuskan tali silaturahmi. Bukankah memutuskan silaturahmi adalah hal yang paling dibenci dan akan dilaknat Alah SWT? Sudah tidak sadarkah kita bahwa putusnya tali silaturahmi di antara orang muslim merupakan prestasi terbesar syaitan yang kelak akan mendapatkan penyematan kehormatan di tanduknya? Toh pada kenyataannya pemutusan silaturahmi yang dilakukan tidak juga membuahkan hasil penyelesaian masalah. Lebih burukkah bila penyelesaian masalah kampus besar ini tidak diikuti dengan pemutusan tali persaudaraan ini?

Para petinggi masing-masing kampus hendaknya mampu melihat fenomena ini. Karena kondisi ini bukan hanya merugikan pihak internal saja, melainkan peluang besar yang setiap saat bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang (selayaknya) bertanggung jawab terhadap kehancuran UISU di masa mendatang. Namun yang harus kita sadari adalah bahwa menghancurkan musuh yang ada di luar jauh lebih mudah dari pada menghancurkan musuh dari dalam yang menjadi musuh dalam selimut. Karena, jangankan menghancurkan, mendeteksinya saja pun kita akan kewalahan.

Kebobrokan sistem peradilan di negeri ini - dan sistem-sistem di instansi yang lain, termasuk para birokratnya - sudah pasti juga turut berkontribusi besar atas terkatung-katungnya penyelesaian UISU ini. Namun, haruskah permasalahan ini kita perkeruh dengan perpecahan secara individual di antara sesama kita? Bila kita rindu dengan suasana UISU yang dulu, mengapa tidak kita mulai dengan kembali menjalin hubungan, komunikasi dan interaksi sebagai perwujudan kerinduan akan indahnya memory kita di masa lalu yang akan kita wujudkan kembali bersama-sama dengan saudara-saudara kita itu? Ragukah kita bila kelak upaya moral yang (sederhana) kita lakukan ini kelak akan memungkinkan turunnya pertolongan Allah untuk memudahkan penyelesaian permasalahan ini serta akan menghadirkan banyak kebaikan bagi kita dan banyak orang di sekitar kita?
Wallahu a’lam bish shawab

15 Maret 2010

HORE… INDONESIA JUARA 2 PENGIDAP HIV se-ASEAN

Meraih medali emas sebagai ikon juara satu atau pemenang dalam kompetisi cabang-cabang olah raga negara-negara ASEAN (Sea Games) tentu tidaklah mudah. Berbagai program dan latihan ekstra intensif digelar oleh Komite Olah Raga Nasional Indonesia (KONI) dan Kementerian Pemuda dan Olah Raga (Kemenpora) guna mempersiapkan kemenangan di perhelatan akbar di kawasan Asia Tenggara yang beberapa bulan kemarin dilaksanakan. Alhasil, perolehan medali dan peringkat yang mampu dibawa pulang masih jauh dari yang diharapkan sebagaimana yang telah menjadi target.
Kondisi ini sungguh jauh berbeda dengan begitu mudahnya meraih peringkat kedua pengidap virus Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang disandang oleh Indonesia sebagai negara anggota ASEAN pengidap virus HIV/AIDS terbesar kedua setelah Thailand. Data yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Sumatera Utara menyebutkan bahwa prevalensi HIV di Indonesia mencapai 293.000 kasus, satu peringkat di bawah Thailand yang mencapai 610.000 kasus (waspada, Senin/22-02-2010)
Ada sebuah fenomena unik sekaligus memprihatinkan. Bahwa para pengidap yang dimaksud secara keseluruhan berada dalam usia produktif, yakni kisaran 15-49 tahun. Ditambah lagi dengan mulai munculnya perkiraan bahwa virus yang belum diketemukan obatnya ini kini mulai menjangkiti para ibu rumah tangga dan anak-anak yang seyogiyanya termasuk golongan beresiko rendah.
Mengingat kembali pesan yang disampaikan oleh Muhammad SAW 14 abad yang lalu, “Baik atau buruknya suatu kaum (negeri) ditentukan oleh wanitanya. Jika baik wanita di negeri itu maka baiklah negeri itu. Jika buruk (aqidah dan akhlak) wanita di negeri itu, maka buruk pula lah negeri itu” (disarikan dari Hadhits Shohih Bukhari).
Melalui realita yang disandingkan dengan hadhits di atas, tentu saja kita tidak bisa mengklaim secara sepihak bahwa masifnya penularan virus HIV/AIDS semata-mata karena kesalahan kaum wanita (pelacur) saja. Juga tidaklah bijaksana mana kala kita menyalahkan kaum pria hidung belang sebagai golongan yang paling bertanggung jawab pada masalah ini. Buktinya, mencuatnya segunung alasan atas berlangsungnya faktor utama penyebab menularnya virus ini (seks bebas-red) seperti alasan ekonomi, keterbatasan lapangan kerja dan sebagainya seolah merupakan alasan-alasan yang umum, lazim, dan tidak asing melewati kedua telinga kita. Alhasil kita menjadi seperti orang-orang yang berkepribadian ganda. Di satu sisi kita mengutuk jenis virus misterius ini, tapi di sisi lain kita menganggap wajar terhadap segala aksi dan perilaku yang menjadi penyebabnya. Adakah yang salah dengan kemiskinan, keterbelakangan, kebutuhan hidup yang menggunung? Tentu saja tidak. Yang salah adalah mana kala kita menjadikan kondisi-kondisi sosial tadi sebagai kambing hitam atas pemakluman perilaku penyimpangan sosial yang merupakan akar dari permasalahan penyebaran virus bak monster ini.
Menelaah Penyebab Guna Mencegah Penularan HIV/AIDS Lebih Jauh
1. Walaupun ditinjau dari jenisnya virus HIV/AIDS merupakan bagian dari konsentrasi ilmu kesehatan, namun penyelesaian dan penaggulangannya tidak bisa dititikberatkan pada sisi medis semata. Karena eksistensi HIV/AIDS sebagai penyakit berawal dari penyimpangan sosial, etika dan norma agama. Hal ini dapat dilihat secara nyata bahwa penularan serta penyebaran virus ini secara pesat terjadi bukan pada negara-negara miskin atau negara yang tingkat kesehatannya rendah, melainkan pada negara-negara yang memiliki kontrol sosial dan etika keagamaan yang rendah. Lihatlah Amerika dan negara-negara Eropa. Sungguh kita tidak pernah meragukan kemajuan teknologi serta ilmu kesehatan mereka, namun ternyata benua yang paling banyak pengidap HIV/AIDS adalah Amerika dan Eropa.
2. Kampanye “sadar kondom” yang didengungkan para aktivis peduli AIDS di setiap peringatan hari AIDS sedunia ternyata tidak memiliki arti apa, bahkan semakin membuat permasalahan penyebaran HIV/AIDS kian marak. Karena berdasarkan penelitian ahli sains mengatakan bahwa kondom terbuat dari jenis karet sintetik yang memiliki rongga berdiameter halus, sehingga berfungsi menahan laju cairan sperma, tapi tidak menahan laju virus penghancur kekebalan tubuh tersebut. Yang lebih parah adalah, seolah-olah kampanye “sadar kondom” ini justru mengajak masyarakat (terkhusus generasi muda) untuk lebih gila lagi melakukan aktivitas seks bebas, asalkan memakai kondom. Sungguh memprihatinkan!
3. Kontrol sosial tentu saja tidak bisa kita pahami sebagai 100 persen urusan hukum normatif semata. Bahkan seyogiyanya, kontrol sosial lebih mengedepankan campur tangan dan kepedulian masyarakat sebagai ujung tombak kehidupan berbangsa dan bernegara terhadap segala kondisi yang berkembang di lingkungan sekitarnya. Modernisasi serta westernisasi yang demikian derasnya mempengaruhi masyarakat kita dewasa ini, khususnya generasi muda, lambat laun menggiring kita kepada pola kehidupan bebas dan cuek serta turunnya kepedulian kita terhadap orang lain yang ada di sekitar kita.
4. Westernisasi tentu saja tidak membawa arus pemikiran tunggal yang mampu mengubah pola kehidupan masyarakat berkepedulian tinggi ke arah kebebasan dan serba cuek, tetapi juga terdapat arus-arus lain yang disinyalir merupakan konsep penghancur kekokohan suatu bangsa, yakni tergerogoti mentalitas pemudanya melalui berbagai asupan yang melenakan. Tersebutlah contoh budaya hidup eksklusif, pola hidup foya-foya, dunia hiburan yang tiada mengenal etika, sampai tertinggalkannya nilai-nilai agama bagi para korbannya. Ditambah lagi ketidaksiapan kita dalam memasuki era informasi tiada batas seperti sekarang ini, maka sah lah hancurnya sekat-sekat pemisah yang menjadi alasan tersebarkannya kerusakan moral tersebut.
Sebagai renungan bersama, tentu kita masih ingat kisah-kisah para pendahulu kita, orang tua kita atau kakek-nenek kita. Pada saat itu kita sangat jarang mendapatkan cerita bahwa mereka hidup dalam serba kecukupan. Lalu mengapa sekarang kita merasa gempar di saat kita hidup dalam garis pas-pasan? Tidakkah kita terlalu pengecut untuk mengizinkan putri-putri atau isteri-isteri kita menjadi pelacur demi memenuhi kebutuhan hidup yang memang tak pernah ada cukupnya? Lalu sadarkah kita bahwa putri atau isteri kita atau bahkan diri kita sendiri telah dan/atau kelak akan menjadi salah seorang penghancur generasi dan bangsa ini?
Di sinilah pentingnya digalakkan kembali pemahaman atas nilai-nilai keagamaan pada semua ummat beragama di negeri ini. Bahwa sebagai suatu bangsa, kita memiliki sebuah tanggung jawab besar yang kita pikul secara bersama-sama, agama apa pun yang kita anut. Yakni mempertahankan serta membangun masa depan yang lebih baik untuk anak-cucu kita generasi mendatang. Kalau tidak bisa, maka standarnya kita kurangi sedikit, yakni setidaknya kita tidak menghantarkan generasi kita pada sebuah kondisi peradaban yang carut marut tanpa kejelasan masa depan bagi mereka.
Wallahu a’lam bish shawab

08 Maret 2010

PENGHAPUSAN DISKRIMINASI, JAUH PANGGANG DARI API

“Saya tegaskan sekali lagi, di era reformasi sekarang ini tidak boleh ada perlakuan yang diskriminatif terhadap siapa pun termasuk umat Konghucu dan masyarakat Tionghoa”. Petikan pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam sambutan perayaan Tahun Baru Imlek Nasional 2561 di Jakarta Convention Center, Sabtu/20-2-10 (Waspada, Minggu 21-2-10).

Sejarah pergerakan kemerdekaan hingga pembangunan Indonesia tentu tidak lekang dari eksistensi warga Cina yang berabad-abad sebelum pergolakan perang memang sudah mulai berdatangan ke Nusantara ini dengan tujuan utamanya berdagang sambil menyebarkan agama. Bukti ini bisa kita lihat pada akulturasi kebudayaan yang ada pada masyarakat Betawi yang sangat kental dengan kebudayaan Cina. Tionghoa sebagai mayoritas golongan masyarakat Cina yang berdomisili di Indonesia tentu tidak bisa disama-artikan dengan umat Konghucu yang juga merupakan keyakinan yang dipeluk oleh masyarakat Cina, karena banyak di antara masyarakat Cina yang memilih agama lain yang diakui oleh negara seperti Kristen, Buddha, Hindu, bahkan Islam.

Pernyataan SBY dalam sambutan di atas jelas hanyalah aksi cari muka dan tebar pesona. Seolah-olah pemerintah yang sedang dikepalai olehnya saat ini begitu apresiatif dan bahkan aktif untuk mensejajarkan hak-hak kenegaraan kaum Tionghoa dan Konghucu dengan warga Pribumi lainnya. Sedangkan ungkapan Diskriminatif yang dilontarkan oleh SBY adalah sangat salah alamat dan terkesan provokatif. Karena bila mau jujur, sesungguhnya aparat pemerintah tidak pernah bertindak diskriminatif kepada kaum Tionghoa atau Konghucu. Bahkan kaum Tionghoa dan Konghucu secara nyata di lapangan lebih mendapatkan perlakuan di luar kewajaran dan eksklusif dari pemerintah melalui aparaturnya dari pada saat melayani kaum Pribumi. Permasalahannya bukan pada Tionghoa, Konghucu atau Pribumi, melainkan kaum berduit atau Borjuis dan menjamurnya aparatur mata duitan di berbagai level instansi pemerintahan.

Pernyataan SBY di atas seolah-olah ingin menafikkan fakta di lapangan bahwa permasalahan diskriminatif bukan datang karena sebab akar suku atau ras atau agama, melainkan kebobrokan mental para aparatur negara di mana SBY sendiri yang menjadi pimpinan tertingginya. Tentu saja ini adalah sebuah upaya penggiringan pola pikir yang sangat berbahaya bagi masyarakat. Kalimat provokatif seperti itu tidak layak dilontarkan oleh seorang kepala negara. Karena hal itu bisa menimbulkan perpecahan di dalam masyarakat Indonesia yang majemuk.

Selain dari pada itu, tidak adanya aspek jera dari aplikasi hukum terhadap berbagai tindak dan pelaku korupsi – termasuk penyuapan – menyebabkan praktek-praktek kotor yang menjadi cikal-bakal diskriminasi pelayanan ini tumbuh subur bak jamur di musim penghujan. Maka sebagai rakyat miskin kita jangan terlalu banyak berharap bila urusan kita akan segera direspon mana kala kita tidak mampu meyakinkan petugas di instansi yang bersangkutan bahwa kita mampu membayar mahal untuk cepatnya proses yang sedang kita urusi itu. Sekarang mari kita jujur pada diri kita sendiri, pernahkah kita melihat kaum Tionghoa atau Konghucu dipermainkan seperti itu oleh aparat? Warga Tionghoa atau masyarakat Pribumi-kah yang sering dihadapkan pada perlakuan diskriminasi pelayanan seperti yang dikatakan oleh SBY tadi? Jawabannya hanya ada dua. Pertama, masyarakat Pribumi-lah yang sebenarnya sering mendapat perlakuan diskriminasi pelayanan dan dipersulit segala urusannya (karena tidak punya uang). Kedua, kaum Borjuis-lah (yang didominasi oleh warga Tionghoa) yang selalu mendapat fasilitas kemudahan urusan di berbagai instansi pemerintahan.

Jadi jelas, permasalahan diskriminasi pelayanan atau hak-hak kenegaraan bukan dilihat dari sisi suku, ras atau agama, melainkan dekadansi akhlak dari aparatur penyelenggara pemerintahan itu sendiri, termasuklah di dalamnya segunung kebobrokan sistem pengawasan dari pemerintah terhadap aparatnya.

Sementara di luar itu, bila terdapat beberapa prasyarat tambahan administratif yang dikenakan kepada kaum pendatang tentu saja itu tidak boleh dipandang sebagai bentuk diskriminasi, melainkan harus dilihat sebagai bagian dari tertib penyelenggaraan administrasi negara. Sebagai seorang kepala negara selayaknya SBY memahami hal itu, sehingga ke depannya sebagai kepala negara tidak lagi memiliki wawasan yang sempit dan hanya bertumpu pada masukan dan informasi para bawahan yang secara realitas kita saksikan pernyataan-pernyataannya justru disikapi dengan reaksi kekecewaan dari masyarakat yang dipimpinnya.

Upaya menghapus prilaku diskriminatif tentu sejalan dengan janji SBY di masa kampanye yakni memberantas korupsi. Karena ditenggarai bahwa tindakan pelayanan yang diskriminatif lahir dari para aparat yang berwatak korup di samping kesempatan yang terbuka begitu lebar. Jadi sesungguhnya masalah diskriminasi ini tidak ada kaitannya dengan suku atau golongan tertentu. Sedangkan upaya untuk mengatasinya pun bukanlah harus melalui pembuatan produk baruseperti Undang-Undang dan sebagainya, karena solusinya sudah inhern dengan upaya yang dicanangkan Pemerintah dalam kaitan pemberantasan korupsi. Tinggal keseriusan Pemerintah sendirilah yang akan akan membuktikannya.

Sesungguhnya negeri ini sangat berpotensi untuk bangkit dan berjaya karena termilikinya berjuta potensi di dalamnya. Namun negeri ini juga sangat gampang hancurnya, karena meratanya kebobrokan moral dan akhlak dari para aparat penyelenggara negara itu sendiri. Sementara kebobrokan moral dari kita sebagai masyarakat justru akan menjadi faktor yang akan mempercepat hancurnya sendi-sendi kenegaraan dari bangsa yang kita cintai ini. Tidak terbayangkan akan makan apa dan tinggal di mana generasi kita di masa mendatang bila mana hari ini kita masih tetap asyik dengan urusan kita masing-masing tanpa menghiraukan permasalahan moralitas bangsa ini.
Wallahu a’lam bish shawab

04 Maret 2010

PILKADA KOTA MEDAN, MENCARI PEMIMPIN ATAU PEMENANG?

Oleh : Surya Dharma, S.Sos*


“Sebagai barometer multi-dimensi pembangunan di propinsi Sumatera Utara, kota Medan menjadi begitu popular untuk dijadikan standar kemajuan bagi daerah-daerah lainnya di Sumatera Utara. Maka, kesuksesan kota Medan melaksanakan Pilkada dalam artian demokrasi berikut tahapan-tahapannya akan turut memberikan warna dalam pelaksanaan Pilkada pada daerah-daerah lain di sekitarnya”.

Demokrasi yang merupakan gagasan pikiran masyarakat banyak yang ditandai dengan mendominasinya hak-hak dasar masyarakat untuk sebisa mungkin diformulasikan dalam regulasi yang mendukungnya. Selain itu, demokrasi juga merupakan manifestasi atas peradaban suatu masyarakat yang seiring perjalanan waktu kemudian menjadi salah satu tolak ukur yang sangat sering muncul dalam wacana-wacana pembangunan daerah, terutama pada daerah yang sedang membangun pilar-pilar keutuhan demokrasi dan birokasi dalam bingkai tatanan nilai-nilai berbangsa dan bernegara yang komprehensif.

Dalam kerangka itulah segala jenis Pemilihan Umum dilaksanakan di negeri ini. Salah satu jenis Pemilihan Umum yang paling sering diselenggarakan di negeri ini tentu saja adalah Pemilihan Umum Kepala Daerah atau yang lebih populer disebut dengan singkatan “Pilkada”, yang Insya Allah akan diselenggarakan di kota Medan yang kita cintai ini pada bulan mei mendatang.

Sebelas nama calon sudah mulai menampakkan keseriusannya melalui pendaftaran mereka sebagai calon walikota dan calon wakil walikota ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Medan. Berbagai alat peraga beserta simbol-simbolnya juga seolah tak mau kalah ikut menyemarakkan pesta domokrasi lima tahunan ini. Beragam asosiasi dan organisasi pun tak ketinggalan mulai sibuk mensosialisasikan dukungannya pada pasangan calon/kandidat tertentu. Di antara calon-calon yang bertarung kali ini terlihat sederetan nama-nama pemain lama yang kini muncul kembali, namun pemain baru pun tidak kalah optimis untuk ikut bertarung dalam memperebutkan kursi nomor 1 di kota Medan ini.

Sebagai sebuah catatan yang berasal dari pengamatan serta penelitian di lapangan, terdapat sebuah kesan negatif - dalam (hampir) setiap pelaksanaan Pemilu dan Pilkada - bahwa dengan sebelah mata tertutup, para kandidat sering kali menganggap masyarakat yang merupakan objek utama dalam Pilkada sebagai barisan semut hitam yang setiap saat selalu setia mendengar dan melaksanakan titah dari sang raja. Merasa sebagai seorang raja, sang kandidat pun dengan tenang dan yakin memproduksi program-program yang di dalamnya 100% atensi masyarakat menjadi penentunya. Lalu segala cara pun dilakukan demi terpenuhinya aspek penentu tadi. Maka menjanjikan dan memberikan sejumlah uang kepada masyarakat untuk menghadiri kegiatan A, B, C, dan seterusnya seakan menjadi realitas pandangan mata yang memang salah namun sudah umum untuk diketahui dalam setiap even Pemilihan.

Terkait dengan hal tersebut, ada pesan - segaligus warning – buat para kandidat yang akan bertarung. Bahwa secara sadar atau tidak, ada sisi yang terlewatkan oleh para kandidat-kandidat tersebut, yakni sisi moral kemanusiaan yang berdiri di atas nilai-nilai kebenaran. Artinya, masyarakat juga mampu melihat dengan mata hatinya mana yang benar dan mana yang tidak benar. Mana yang layak dipilih dan mana pula yang lebih layak untuk dicemoohi. Dicemoohi dalam artian politik, yakni diambil uangnya namun mereka (masyarakat) tetap memilih kandidat pilihan hatinya.

Kompleksitas permasalahan kehidupan yang dirasakan masyarakat kelas menengah ke bawah pun merupakan aspek mendasar yang tak akan mampu dikaburkan atau dihapus dengan janji dan rekayasa apa pun. Birokrasi yang berbelit untuk masyarakat kecil namun lancar dan singkat untuk kaum bojuis, bobroknya moral para pejabat dan aparatur negara yang sesungguhnya disumpah untuk melayani masyarakat, realitas yang berbanding terbalik antara amanat Undang-Undang untuk menghadirkan pendidikan yang terjangkau bagi seluruh masyarakat dengan mencekiknya biaya pendidikan anak-anak kita. Tentu saja fenomena yang membukit ini bukanlah kondisi yang terjadi selama beberapa hari belakangan ini saja, melainkan kita hampir tidak pernah melewati hari tanpa kehadiran realitas yang menyesakkan dada tersebut. Sehingga, sedari detik ini pun kita sudah dapat memprediksikan apa-apa saja gebrakan dan program yang akan dilakukan oleh para kandidat pemburu “MEDAN 1” tersebut.

Namun kita memahami sebagaimana pola pemahaman yang baik dan benar, bahwa merubah sistem jauh lebih sulit dan membutuhkan waktu yang lebih lama dari pada memindahkan sebuah gunung atau arus air sungai. Kehadiran beberapa tokoh muda dan bermunculannya partai-partai baru pun langsung mendapat apresiasi positif dari masyarakat yang sudah muak dengan budaya lama para politikus busuk yang hanya menjadikan mereka sebagai alat mainan di saat dibutuhkan saja, namun setelah itu dicampakkan begitu saja.

Kini pertarungan Pilkada Kota Medan tidak hanya akan dimeriahkan oleh banyaknya pasangan calon dan wakilnya saja, namun turut juga diramaikan oleh program-program ‘tebar pesona’ dari masing-masing kandidat dengan model dan kreasi yang beragam pula sebagai bentuk perimbangan atas beragamnya opini serta persepsi masyarakat terhadap Pilkada dan calon peserta Pilkada itu sendiri. Dari sini lah kita akan bisa melihat siapa sesungguhnya yang memiliki karakteristik seorang pemimpin dan siapa pula yang hanya memiliki ‘libido politik’, sehingga dengan jelas memperlihatkan ambisinya untuk menjadi pemenang dalam Pilkada kali ini.

Sekali lagi, segala bentuk pemilihan yang diselenggarakan, pada dasarnya hanyalah untuk kepentingan masyarakat. Dan pada akhirnya masyarakat pulalah yang akan menentukan kepada siapa kita akan menyerahkan kursi terhormat nomor satu di kota Medan ini, kepada seorang Pemimpinkah, atau kepada (orang yang berambisi untuk menjadi) Pemenang?
Ladies and Gentlemen, tentukan pilihanmu sekarang…!!!
Wallahu a’lam bish shawab
*Alumni FISIP UISU, Mantan Peneliti LIPSSUM