Biodata

Foto saya
Lifestyle of Medan's People, Do You Want to Beat it...???

15 Maret 2010

HORE… INDONESIA JUARA 2 PENGIDAP HIV se-ASEAN

Meraih medali emas sebagai ikon juara satu atau pemenang dalam kompetisi cabang-cabang olah raga negara-negara ASEAN (Sea Games) tentu tidaklah mudah. Berbagai program dan latihan ekstra intensif digelar oleh Komite Olah Raga Nasional Indonesia (KONI) dan Kementerian Pemuda dan Olah Raga (Kemenpora) guna mempersiapkan kemenangan di perhelatan akbar di kawasan Asia Tenggara yang beberapa bulan kemarin dilaksanakan. Alhasil, perolehan medali dan peringkat yang mampu dibawa pulang masih jauh dari yang diharapkan sebagaimana yang telah menjadi target.
Kondisi ini sungguh jauh berbeda dengan begitu mudahnya meraih peringkat kedua pengidap virus Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang disandang oleh Indonesia sebagai negara anggota ASEAN pengidap virus HIV/AIDS terbesar kedua setelah Thailand. Data yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Sumatera Utara menyebutkan bahwa prevalensi HIV di Indonesia mencapai 293.000 kasus, satu peringkat di bawah Thailand yang mencapai 610.000 kasus (waspada, Senin/22-02-2010)
Ada sebuah fenomena unik sekaligus memprihatinkan. Bahwa para pengidap yang dimaksud secara keseluruhan berada dalam usia produktif, yakni kisaran 15-49 tahun. Ditambah lagi dengan mulai munculnya perkiraan bahwa virus yang belum diketemukan obatnya ini kini mulai menjangkiti para ibu rumah tangga dan anak-anak yang seyogiyanya termasuk golongan beresiko rendah.
Mengingat kembali pesan yang disampaikan oleh Muhammad SAW 14 abad yang lalu, “Baik atau buruknya suatu kaum (negeri) ditentukan oleh wanitanya. Jika baik wanita di negeri itu maka baiklah negeri itu. Jika buruk (aqidah dan akhlak) wanita di negeri itu, maka buruk pula lah negeri itu” (disarikan dari Hadhits Shohih Bukhari).
Melalui realita yang disandingkan dengan hadhits di atas, tentu saja kita tidak bisa mengklaim secara sepihak bahwa masifnya penularan virus HIV/AIDS semata-mata karena kesalahan kaum wanita (pelacur) saja. Juga tidaklah bijaksana mana kala kita menyalahkan kaum pria hidung belang sebagai golongan yang paling bertanggung jawab pada masalah ini. Buktinya, mencuatnya segunung alasan atas berlangsungnya faktor utama penyebab menularnya virus ini (seks bebas-red) seperti alasan ekonomi, keterbatasan lapangan kerja dan sebagainya seolah merupakan alasan-alasan yang umum, lazim, dan tidak asing melewati kedua telinga kita. Alhasil kita menjadi seperti orang-orang yang berkepribadian ganda. Di satu sisi kita mengutuk jenis virus misterius ini, tapi di sisi lain kita menganggap wajar terhadap segala aksi dan perilaku yang menjadi penyebabnya. Adakah yang salah dengan kemiskinan, keterbelakangan, kebutuhan hidup yang menggunung? Tentu saja tidak. Yang salah adalah mana kala kita menjadikan kondisi-kondisi sosial tadi sebagai kambing hitam atas pemakluman perilaku penyimpangan sosial yang merupakan akar dari permasalahan penyebaran virus bak monster ini.
Menelaah Penyebab Guna Mencegah Penularan HIV/AIDS Lebih Jauh
1. Walaupun ditinjau dari jenisnya virus HIV/AIDS merupakan bagian dari konsentrasi ilmu kesehatan, namun penyelesaian dan penaggulangannya tidak bisa dititikberatkan pada sisi medis semata. Karena eksistensi HIV/AIDS sebagai penyakit berawal dari penyimpangan sosial, etika dan norma agama. Hal ini dapat dilihat secara nyata bahwa penularan serta penyebaran virus ini secara pesat terjadi bukan pada negara-negara miskin atau negara yang tingkat kesehatannya rendah, melainkan pada negara-negara yang memiliki kontrol sosial dan etika keagamaan yang rendah. Lihatlah Amerika dan negara-negara Eropa. Sungguh kita tidak pernah meragukan kemajuan teknologi serta ilmu kesehatan mereka, namun ternyata benua yang paling banyak pengidap HIV/AIDS adalah Amerika dan Eropa.
2. Kampanye “sadar kondom” yang didengungkan para aktivis peduli AIDS di setiap peringatan hari AIDS sedunia ternyata tidak memiliki arti apa, bahkan semakin membuat permasalahan penyebaran HIV/AIDS kian marak. Karena berdasarkan penelitian ahli sains mengatakan bahwa kondom terbuat dari jenis karet sintetik yang memiliki rongga berdiameter halus, sehingga berfungsi menahan laju cairan sperma, tapi tidak menahan laju virus penghancur kekebalan tubuh tersebut. Yang lebih parah adalah, seolah-olah kampanye “sadar kondom” ini justru mengajak masyarakat (terkhusus generasi muda) untuk lebih gila lagi melakukan aktivitas seks bebas, asalkan memakai kondom. Sungguh memprihatinkan!
3. Kontrol sosial tentu saja tidak bisa kita pahami sebagai 100 persen urusan hukum normatif semata. Bahkan seyogiyanya, kontrol sosial lebih mengedepankan campur tangan dan kepedulian masyarakat sebagai ujung tombak kehidupan berbangsa dan bernegara terhadap segala kondisi yang berkembang di lingkungan sekitarnya. Modernisasi serta westernisasi yang demikian derasnya mempengaruhi masyarakat kita dewasa ini, khususnya generasi muda, lambat laun menggiring kita kepada pola kehidupan bebas dan cuek serta turunnya kepedulian kita terhadap orang lain yang ada di sekitar kita.
4. Westernisasi tentu saja tidak membawa arus pemikiran tunggal yang mampu mengubah pola kehidupan masyarakat berkepedulian tinggi ke arah kebebasan dan serba cuek, tetapi juga terdapat arus-arus lain yang disinyalir merupakan konsep penghancur kekokohan suatu bangsa, yakni tergerogoti mentalitas pemudanya melalui berbagai asupan yang melenakan. Tersebutlah contoh budaya hidup eksklusif, pola hidup foya-foya, dunia hiburan yang tiada mengenal etika, sampai tertinggalkannya nilai-nilai agama bagi para korbannya. Ditambah lagi ketidaksiapan kita dalam memasuki era informasi tiada batas seperti sekarang ini, maka sah lah hancurnya sekat-sekat pemisah yang menjadi alasan tersebarkannya kerusakan moral tersebut.
Sebagai renungan bersama, tentu kita masih ingat kisah-kisah para pendahulu kita, orang tua kita atau kakek-nenek kita. Pada saat itu kita sangat jarang mendapatkan cerita bahwa mereka hidup dalam serba kecukupan. Lalu mengapa sekarang kita merasa gempar di saat kita hidup dalam garis pas-pasan? Tidakkah kita terlalu pengecut untuk mengizinkan putri-putri atau isteri-isteri kita menjadi pelacur demi memenuhi kebutuhan hidup yang memang tak pernah ada cukupnya? Lalu sadarkah kita bahwa putri atau isteri kita atau bahkan diri kita sendiri telah dan/atau kelak akan menjadi salah seorang penghancur generasi dan bangsa ini?
Di sinilah pentingnya digalakkan kembali pemahaman atas nilai-nilai keagamaan pada semua ummat beragama di negeri ini. Bahwa sebagai suatu bangsa, kita memiliki sebuah tanggung jawab besar yang kita pikul secara bersama-sama, agama apa pun yang kita anut. Yakni mempertahankan serta membangun masa depan yang lebih baik untuk anak-cucu kita generasi mendatang. Kalau tidak bisa, maka standarnya kita kurangi sedikit, yakni setidaknya kita tidak menghantarkan generasi kita pada sebuah kondisi peradaban yang carut marut tanpa kejelasan masa depan bagi mereka.
Wallahu a’lam bish shawab

Tidak ada komentar: