Biodata

Foto saya
Lifestyle of Medan's People, Do You Want to Beat it...???

08 Maret 2010

PENGHAPUSAN DISKRIMINASI, JAUH PANGGANG DARI API

“Saya tegaskan sekali lagi, di era reformasi sekarang ini tidak boleh ada perlakuan yang diskriminatif terhadap siapa pun termasuk umat Konghucu dan masyarakat Tionghoa”. Petikan pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam sambutan perayaan Tahun Baru Imlek Nasional 2561 di Jakarta Convention Center, Sabtu/20-2-10 (Waspada, Minggu 21-2-10).

Sejarah pergerakan kemerdekaan hingga pembangunan Indonesia tentu tidak lekang dari eksistensi warga Cina yang berabad-abad sebelum pergolakan perang memang sudah mulai berdatangan ke Nusantara ini dengan tujuan utamanya berdagang sambil menyebarkan agama. Bukti ini bisa kita lihat pada akulturasi kebudayaan yang ada pada masyarakat Betawi yang sangat kental dengan kebudayaan Cina. Tionghoa sebagai mayoritas golongan masyarakat Cina yang berdomisili di Indonesia tentu tidak bisa disama-artikan dengan umat Konghucu yang juga merupakan keyakinan yang dipeluk oleh masyarakat Cina, karena banyak di antara masyarakat Cina yang memilih agama lain yang diakui oleh negara seperti Kristen, Buddha, Hindu, bahkan Islam.

Pernyataan SBY dalam sambutan di atas jelas hanyalah aksi cari muka dan tebar pesona. Seolah-olah pemerintah yang sedang dikepalai olehnya saat ini begitu apresiatif dan bahkan aktif untuk mensejajarkan hak-hak kenegaraan kaum Tionghoa dan Konghucu dengan warga Pribumi lainnya. Sedangkan ungkapan Diskriminatif yang dilontarkan oleh SBY adalah sangat salah alamat dan terkesan provokatif. Karena bila mau jujur, sesungguhnya aparat pemerintah tidak pernah bertindak diskriminatif kepada kaum Tionghoa atau Konghucu. Bahkan kaum Tionghoa dan Konghucu secara nyata di lapangan lebih mendapatkan perlakuan di luar kewajaran dan eksklusif dari pemerintah melalui aparaturnya dari pada saat melayani kaum Pribumi. Permasalahannya bukan pada Tionghoa, Konghucu atau Pribumi, melainkan kaum berduit atau Borjuis dan menjamurnya aparatur mata duitan di berbagai level instansi pemerintahan.

Pernyataan SBY di atas seolah-olah ingin menafikkan fakta di lapangan bahwa permasalahan diskriminatif bukan datang karena sebab akar suku atau ras atau agama, melainkan kebobrokan mental para aparatur negara di mana SBY sendiri yang menjadi pimpinan tertingginya. Tentu saja ini adalah sebuah upaya penggiringan pola pikir yang sangat berbahaya bagi masyarakat. Kalimat provokatif seperti itu tidak layak dilontarkan oleh seorang kepala negara. Karena hal itu bisa menimbulkan perpecahan di dalam masyarakat Indonesia yang majemuk.

Selain dari pada itu, tidak adanya aspek jera dari aplikasi hukum terhadap berbagai tindak dan pelaku korupsi – termasuk penyuapan – menyebabkan praktek-praktek kotor yang menjadi cikal-bakal diskriminasi pelayanan ini tumbuh subur bak jamur di musim penghujan. Maka sebagai rakyat miskin kita jangan terlalu banyak berharap bila urusan kita akan segera direspon mana kala kita tidak mampu meyakinkan petugas di instansi yang bersangkutan bahwa kita mampu membayar mahal untuk cepatnya proses yang sedang kita urusi itu. Sekarang mari kita jujur pada diri kita sendiri, pernahkah kita melihat kaum Tionghoa atau Konghucu dipermainkan seperti itu oleh aparat? Warga Tionghoa atau masyarakat Pribumi-kah yang sering dihadapkan pada perlakuan diskriminasi pelayanan seperti yang dikatakan oleh SBY tadi? Jawabannya hanya ada dua. Pertama, masyarakat Pribumi-lah yang sebenarnya sering mendapat perlakuan diskriminasi pelayanan dan dipersulit segala urusannya (karena tidak punya uang). Kedua, kaum Borjuis-lah (yang didominasi oleh warga Tionghoa) yang selalu mendapat fasilitas kemudahan urusan di berbagai instansi pemerintahan.

Jadi jelas, permasalahan diskriminasi pelayanan atau hak-hak kenegaraan bukan dilihat dari sisi suku, ras atau agama, melainkan dekadansi akhlak dari aparatur penyelenggara pemerintahan itu sendiri, termasuklah di dalamnya segunung kebobrokan sistem pengawasan dari pemerintah terhadap aparatnya.

Sementara di luar itu, bila terdapat beberapa prasyarat tambahan administratif yang dikenakan kepada kaum pendatang tentu saja itu tidak boleh dipandang sebagai bentuk diskriminasi, melainkan harus dilihat sebagai bagian dari tertib penyelenggaraan administrasi negara. Sebagai seorang kepala negara selayaknya SBY memahami hal itu, sehingga ke depannya sebagai kepala negara tidak lagi memiliki wawasan yang sempit dan hanya bertumpu pada masukan dan informasi para bawahan yang secara realitas kita saksikan pernyataan-pernyataannya justru disikapi dengan reaksi kekecewaan dari masyarakat yang dipimpinnya.

Upaya menghapus prilaku diskriminatif tentu sejalan dengan janji SBY di masa kampanye yakni memberantas korupsi. Karena ditenggarai bahwa tindakan pelayanan yang diskriminatif lahir dari para aparat yang berwatak korup di samping kesempatan yang terbuka begitu lebar. Jadi sesungguhnya masalah diskriminasi ini tidak ada kaitannya dengan suku atau golongan tertentu. Sedangkan upaya untuk mengatasinya pun bukanlah harus melalui pembuatan produk baruseperti Undang-Undang dan sebagainya, karena solusinya sudah inhern dengan upaya yang dicanangkan Pemerintah dalam kaitan pemberantasan korupsi. Tinggal keseriusan Pemerintah sendirilah yang akan akan membuktikannya.

Sesungguhnya negeri ini sangat berpotensi untuk bangkit dan berjaya karena termilikinya berjuta potensi di dalamnya. Namun negeri ini juga sangat gampang hancurnya, karena meratanya kebobrokan moral dan akhlak dari para aparat penyelenggara negara itu sendiri. Sementara kebobrokan moral dari kita sebagai masyarakat justru akan menjadi faktor yang akan mempercepat hancurnya sendi-sendi kenegaraan dari bangsa yang kita cintai ini. Tidak terbayangkan akan makan apa dan tinggal di mana generasi kita di masa mendatang bila mana hari ini kita masih tetap asyik dengan urusan kita masing-masing tanpa menghiraukan permasalahan moralitas bangsa ini.
Wallahu a’lam bish shawab

Tidak ada komentar: