Biodata

Foto saya
Lifestyle of Medan's People, Do You Want to Beat it...???

20 Maret 2010

UISU-KU SAYANG, UISU-KU MALANG

Sepulangnya dari gua Hira’ setelah mendapat wahyu pertama, Nabi SAW pulang ke rumahnya dengan badan bergemetar dan suhu badan yang panas-dingin tidak menentu. Setelah sampai di pembaringan Beliau berkata pada istrinya Siti Khadijah, “Sungguh, telah terjadi sesuatu yang mengerikan. Aku takut akan terjadi sesuatu yang buruk menimpaku”. Sambil menyelimuti badan suaminya, Khadijah berkata dengan penuh keyakinan, “Tidak, tidak mungkin. Engkau adalah orang yang baik, suka menyambung tali silaturahim, ikut membawakan beban orang lain, memberi makan orang miskin, menjamu tamu dan menolong orang yang menegakkan kebenaran” (Sirah Nabawiyah, Syeikh Shafiyyurahman Al Mubarakfury)

Salah satu kunci kegemilangan suatu bangsa tentu kita ketahui bahwa ilmu adalah jawabannya. Kendati pun demikian selanjutnya kita tidak menafikkan bahwa eksistensi iman juga merupakan salah satu kuci utama pula yang turut menentukan peradaban bangsa itu sendiri. Dalam hadhits shahih Bukhari diriwayatkan Nabi SAW bersabda, “Barang siapa hendak menguasai dunia, hendaklah dengan ilmu. Barang siapa hendak menguasai akhirat, hendaklah dengan ilmu. Barang siapa hendak menguasai kedua-duanya, hendaklah dengan ilmu (juga)”.

Dunia pendidikan yang merupakan perwujudan sebagai perpustakaan keilmuan merupakan sebuah sisi kehidupan yang teramat penting bagi semua kalangan umat manusia. Atas dasar inilah urgensi pertumbuhan dan penataan serta perawatan lembaga-lembaga pendidikan formal dan non formal harus senantiasa kita upayakan secara bersama. Karena bisa jadi, ketidakacuhan kita terhadap perkembangan dunia pendidikan - terutama pendidikan anak-anak kita - justru akan mengakibatkan kebobrokan mental, degradasi intelektualitas dan dekadensi akhlak pada generasi mendatang. Bahkan yang lebih dikhawatirkan adalah terjadinya kehancuran karena keleluasaan negara atau pihak asing yang ambisius dan memanfaatkan kondisi negatif negeri ini hingga berlangsunglah penjajahan modern, di mana pada saat itu kita baru menyadari bahwa kita telah menjadi budak di negeri kita sendiri.

Kehancuran dunia pendidikan tentu saja bisa dilihat dari kehancuran lembaga-lembaga pendidikan yang ada di dalamnya. Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) merupakan salah satu contoh riilnya. Seperti yang sering kita dengar bahwa UISU merupakan universitas tertua di luar pulau Jawa, maka dengan itu, segudang catatan mengagumkan dari para pendiri dan pengelola bahkan alumninya pun selayaknya berbanding lurus dengan kedigjayaannya tersebut. Namun seolah itu semua hanya menjadi lagu lama yang tinggal kenangan. UISU kini sedang kesakitan, bahkan kritis. Mahasiswa meradang karena secara de jure UISU itu satu, namun secara de facto ada dua lembaga pendidikan tinggi yang menyelenggarakan aktivitas perkuliahan yang kedua-duanya saling berebut dan mengklaim bahwa merekalah penyelenggara UISU yang sah!

Tanpa bermaksud memasuki ranah hukum dan melakukan pembelaan kepada salah satu pihak, di sini penulis sebagai alumni ingin mengetuk pintu hati seluruh lapisan dan elemen yang ada di kedua lembaga ini, bahwa ada sisi-sisi moral dan kemanusiaan yang - secara sengaja atau tidak - telah kita abaikan. Upaya-upaya pembelaan kebenaran yang dilakukan justru telah membawa nama besar kampus ini semakin jauh ke dalam jurang hitam. Secara pasti, penurunan jumlah mahasiswa yang masuk menurun drastis. Hal ini mengakibatkan terjadinya penurunan income dari masing-masing pihak. Lalu praktek-praktek kotor dan tidak sehat pun mulai menjamur di kampus yang katanya Islami ini. Realitas tingginya kebutuhan hidup dari para pegawai bisa saja dijadikan alasan atas terpeliharanya fenomena ini. Namun, kecenderungan masyarakat yang diwakilkan oleh mahasiswa di kampusnya yang sudah sedemikian individualis dan budaya “yang penting urusan cepat beres” telah menyempurnakan keabsahan eksistensi dari praktek-praktek tidak sehat itu. Alhasil, kampus Islami kini hanya tinggal nama. Yang ada hanyalah kemunafikan, aksi menipu diri sendiri, dan bahkan membodohi diri sendiri.

Di sisi yang lain, kita akan menjumpai sebuah kondisi yang amat menyedihkan. Para pegawai yang dulunya adalah teman akrab kini menjadi musuh besar setelah terjadinya perpecahan. Padahal sebenarnya secara langsung mereka tidak terlibat dalam urusan yang selayaknya diurusi oleh para elit kampus ini. Namun upaya tarik-menarik calon mahasiswa yang terjadi di antara ke duanya telah melahirkan sikap saling membenci, terdahulukannya buruk sangka, ghibah, dendam, terputusnya silaturahmi, dan sebagainya


Penggalan kisah awal turunnya wahyu Allah kepada Muhammad SAW di atas menggambarkan bagaimana Khadijah yang digambarkan dalam banyak tulisan sebagai “The True Love of Muhammad” begitu meyakini bahwa orang-orang yang senantiasa menjaga dan menyambung tali persaudaraan (silaturahmi) tidak akan ditimpa keburukan dari Tuhannya. Lalu mengapa hanya karena untuk urusan duniawi atau bahkan sekedar untuk memenuhi kebutuhan sejengkal di perut ini kita berani dan tega memutuskan tali silaturahmi. Bukankah memutuskan silaturahmi adalah hal yang paling dibenci dan akan dilaknat Alah SWT? Sudah tidak sadarkah kita bahwa putusnya tali silaturahmi di antara orang muslim merupakan prestasi terbesar syaitan yang kelak akan mendapatkan penyematan kehormatan di tanduknya? Toh pada kenyataannya pemutusan silaturahmi yang dilakukan tidak juga membuahkan hasil penyelesaian masalah. Lebih burukkah bila penyelesaian masalah kampus besar ini tidak diikuti dengan pemutusan tali persaudaraan ini?

Para petinggi masing-masing kampus hendaknya mampu melihat fenomena ini. Karena kondisi ini bukan hanya merugikan pihak internal saja, melainkan peluang besar yang setiap saat bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang (selayaknya) bertanggung jawab terhadap kehancuran UISU di masa mendatang. Namun yang harus kita sadari adalah bahwa menghancurkan musuh yang ada di luar jauh lebih mudah dari pada menghancurkan musuh dari dalam yang menjadi musuh dalam selimut. Karena, jangankan menghancurkan, mendeteksinya saja pun kita akan kewalahan.

Kebobrokan sistem peradilan di negeri ini - dan sistem-sistem di instansi yang lain, termasuk para birokratnya - sudah pasti juga turut berkontribusi besar atas terkatung-katungnya penyelesaian UISU ini. Namun, haruskah permasalahan ini kita perkeruh dengan perpecahan secara individual di antara sesama kita? Bila kita rindu dengan suasana UISU yang dulu, mengapa tidak kita mulai dengan kembali menjalin hubungan, komunikasi dan interaksi sebagai perwujudan kerinduan akan indahnya memory kita di masa lalu yang akan kita wujudkan kembali bersama-sama dengan saudara-saudara kita itu? Ragukah kita bila kelak upaya moral yang (sederhana) kita lakukan ini kelak akan memungkinkan turunnya pertolongan Allah untuk memudahkan penyelesaian permasalahan ini serta akan menghadirkan banyak kebaikan bagi kita dan banyak orang di sekitar kita?
Wallahu a’lam bish shawab

Tidak ada komentar: