Biodata

Foto saya
Lifestyle of Medan's People, Do You Want to Beat it...???

30 November 2009

DPR BARU, SEMANGAT BARU




Periodisasi parlemen Indonesia kini memasuki babak baru, babak ketiga sejak digulirkannya reformasi. Periode yang kali ini didominasi oleh wajah baru serta kaum muda dari berbagai latar belakang pendidikan dan pengalaman ini mendapat perhatian yang cukup besar dari publik. Ada nuansa baru yang lahir seiring dengan hadirnya para wakil rakyat ini ke ruang kerjanya. Nuansa tersebut adalah sebuah semangat baru yang dibawa oleh para wakil rakyat. Semangat yang lahir dari kepercayaan yang diamanatkan rakyat secara langsung di pundaknya yang kemudian dengan itu semua kebijakan-kebijakan serta regulasi yang berorientasi pada keadilan dan kesejahteraan rakyat diharapkan mampu dilahirkan.

Berbicara tentang DPR yang baru, tentu tidak lepas dari eksistensi DPR yang lama (periode sebelumnya) dalam catatan sejarah. Periode DPR 2004-2009 yang lalu tidak saja meninggalkan sederetan catatan negatif seperti yang selama ini santer diberitakan melalui segenap media, karena di balik itu semua secara nyata para anggota DPR yang lalu juga telah berhasil mengukir prestasi-prestasi gemilang yang mungkin saja tidak berhasil menembus pemberitaan publik lantaran tertelan oleh arus pemberitaan negatif dari rekan anggota DPR yang lain. Terjaringnya beberapa orang anggota dewan dalam kasus hukum bahkan masuk bui, komersialisasi legislasi, korupsi waktu dan etika seakan menjadi tema hangat di setiap media saat berbicara tentang kinerja anggota DPR. Setidaknya tema-tema tersebut seolah-olah menjadi sangat layak untuk dijadikan bahan komparasi di saat menyajikan prestasi yang berhasil diukir oleh sebagian anggota DPR yang lain.

Tidak bisa dipungkiri bahwa periode DPR yang lalu termasuk periode legislatif yang kritis (bahkan galak) terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Ini bisa dilihat dari penggunaan hak-hak yang melekat pada anggota DPR selama periode yang lalu. Selain itu, dirampungkannya lebih dari 200 RUU menjadi UU juga merupakan sebuah prestasi tersendiri yang selayaknya mendapat apresiasi dari seluruh lapisan di negeri ini. Walau tentu saja kita tidak boleh menafikan kekurangan-kekurangan yang terdapat di dalamnya.
Sangat tidak adil rasanya manakala hanya mendapat kritikan dari masyarakat di saat melakukan kesalahan tapi kemudian hampa dari apresiasi di saat mengukir prestasi. Namun itu merupakan sebuah konsekuensi logis yang harus diterima oleh anggota DPR sebagai wakil rakyat. Selayaknya anggota DPR mampu mengapresiasi setiap kritikan masyarakat sebagai bagian dari social control masyarakat terhadap para wakilnya di lembaga legislatif ini. Sehingga dengan demikian para anggota DPR akan selalu merasa memiliki bahan bakar baru dalam menjalankan setiap tugas-tugas kedewanannya.

DPR baru sejatinya memiliki makna baru dalam hal semangat dan kinerjanya. Memiliki semangat baru tidak lantas harus memvonis semangat anggota DPR periode yang lalu berdiri di atas pondasi yang salah. Namun, para wakil rakyat yang baru terpilih, termasuk anggota lama yang terpilih kembali, harus mampu melakukan pembaharuan niat dan orientasi komitmen dalam menjalankan aktivitasnya ke depan, yang dengan inilah kemudian etos kerja dan kedisiplinan akan dibangun di atasnya. Selanjutnya, ketersediaan perangkat penunjang kerja adalah sebuah kebutuhan tambahan yang juga turut menentukan keberhasilan dan berkualitasnya kinerja anggota.
Belajar dari Masa Lalu
Wajah parlemen Indonesia membutuhkan ’rejuvenation’ atau penyegaran dalam cakupan orientasi komitmen dan kinerja. Sejarah yang tercatat tentang rendahnya kualitas mental sebagian wakil rakyat periode yang lalu telah mencoreng nama parlemen secara institusional. Oleh sebab itu, para wakil rakyat periode yang baru ini wajib mempersiapkan segenap perangkat personal saat memasuki wilayah politik parlemen. Keberadaan 70 persen wajah baru di DPR memiliki potensi besar untuk membawa bahtera lembaga parlemen ini kepada sebuah peradaban dan budaya kerja yang baru. Peradaban serta budaya kerja yang baru ini tentu saja tidak hanya bermakna positif melainkan juga berkemungkinan dalam artian negatif. Untuk itu, semangat baru yang dibawa oleh anggota baru ini diharapkan mampu merubah tampilan wajah negatif DPR yang selama ini telah tercoreng ke arah pencitraan positif di tengah-tengah masyarakat dengan kerja-kerja nyata.

Terabaikannya prinsip preventif yang tegak di atas aspek moral dalam setiap alat kelengkapan DPR telah mendorong lahirnya sejumlah catatan buruk dari prilaku anggota serta output yang kualitasnya diragukan oleh masyarakat. Untuk itu, diharapkan ke depannya aspek integritas moral (moral integrity) bisa dikedepankan dalam setiap tahapan kerja-kerja anggota, baik di dalam alat kelengkapan, di fraksi, maupun di luar hak dan kewajiban yang melekat pada pribadi anggota DPR. Dengan demikian, unsur-unsur yang memungkinkan tercorengnya kembali lembaga dewan yang terhormat ini mampu untuk ditekan dan bahkan dihilangkan dari catatan sejarah perjalanan DPR hari ini dan hari-hari selanjutnya.

Selain dari pada itu, yang juga harus kita perhatikan adalah bahwa citra positif tidak akan pernah hadir bila dari pintu DPR itu sendiri tidak pernah keluar output-output yang berkualitas. Maksimalisasi output dari DPR sebagai institusi tentu tidak terlepas dari berkualitas atau tidaknya angota-anggota yang ada di dalamnya. Membekali diri dengan hal-hal yang bersinggungan langsung dengan tugas-tugas kedewanan pun menjadi suatu tuntutan yang tak terelakkan.

Kebutuhan dan Tantangan
Melihat kondisi kekinian yang ada, saya melihat setidaknya ada lima tantangan yang akan dihadapi DPR sebagai institusi sekaligus personalnya. Tantangan yang pertama adalah mengelola kemampuan menjadi partner politik yang tidak semata-mata bersikap ’legowo’ terhadap kebijakan pemerintah, tetapi juga bisa kritis serta korektif. Artinya, tantangan fraksi-fraksi di DPR adalah menghindari kinerja yang bersifat “utang budi politik” kepada pemerintahan yang ada.

Kedua, membangun kembali kepercayaan publik bahwa DPR hasil Pemilu 2009 benar-benar merupakan wakil rakyat, tidak sekedar secara prosedural, melainkan juga substantif. Keterwakilan secara substantif menuntut para anggota Dewan tidak hanya bekerja atas dasar prosedur politik belaka, tetapi harus selalu mempertanyakan kembali: apakah segenap prosedur yang ada berpihak pada kepentingan rakyat yang diwakili atau tidak.

Ketiga, mengingat 70 persen anggota DPR yang baru ini adalah wajah baru, maka tantangan yang tak kalah besarnya adalah bagaimana meyakinkan publik bahwa kinerja dan produktifitas Dewan tidak dipengaruhi oleh realitas tersebut. Itu artinya, para anggota DPR wajah baru perlu secepatnya belajar tentang ruang lingkup tugas, fungsi, dan otoritas mereka, baik sebagai anggota secara individual maupun selaku wakil rakyat secara institusi. Sebaliknya para wajah lama DPR perlu membagi pengalaman mereka kepada para anggota baru agar segenap anggota Dewan secepatnya bekerja secara maksimal.

Keempat, memperbaiki citra publik parlemen yang telanjur merosot di periode lalu yang disebabkan oleh multi faktor.

Tantangan kelima DPR adalah meningkatkan produktifitas dan kualitas legislasi. Sesuai dengan amanat konstitusi hasil amandemen, locus fungsi legislasi kini berada di tangan DPR kendati tetap harus melalui persetujuan Presiden. Namun permasalahan terbesar DPR yang lalu adalah kegagalannya dalam meningkatkan kualitas UU yang dihasilkan. Dari segi jumlah RUU yang berhasil menjadi UU memang terjadi peningkatan dibandingkan DPR periode 1999-2004. Akan tetapi jumlah RUU yang berasal dari inisiatif DPR sendiri relatif masih sedikit, belum lagi 33 UU yang diujimaterikan ke Mahkamah Konstitusi seakan makin mengesankan rendahnya kualitas legislasi yang dihasilkan.


Kebutuhan
Seperti yang selama ini kita pahami bersama bahwa kerja parlemen merupakan kerja pemikiran, ide dan mental dalam zona politik. Maka dari pada itu, manajemen isu, desain strategi, bahkan pola intrik selayaknya menjadi bagian integral dari tiap anggota DPR. Dengan kondisi tersebut, figur anggota DPR ke depan haruslah responsif dalam melihat dan menyikapi perkembangan yang ada. Seiring dengan hal tersebut, kualitas personal berbasis keahlian (professional appointee), disiplin keilmuan (intelectual basic) sekaligus integritas moral (moral integrity) juga merupakan perangkat-perangkat utama yang sejatinya menjadi bekal yang dimiliki oleh para anggota dewan dalam menjalani tugas-tugas kedewanannya.

Dalam rangka mencapai semua itu, tentu setiap anggota dewan membutuhkan struktur penyokong yang kelak akan membantunya dalam menjalankan setiap tugas dan tanggung jawabnya. Oleh sebab itu, ada beberapa hal yang menjadi penting untuk kita perhatikan bersama dalam memaksimalkan kerja-kerja anggota dewan di lembaga legislatif ini. Pertama, ketersediaan tenaga ahli yang merupakan sumber daya pembantu anggota dewan dalam melengkapi serta menyempurnakan posisinya di setiap lini aktivitas kedewanannya. Tenaga ahli tidak hanya menjadi faktor penting bagi anggota yang memiliki intelectual basic dan professional appointee yang rendah. Bahkan keberadaan tenaga ahli pun kemudian dipandang sebagai sesuatu yang urgen di saat anggota parlemen dihadapkan pada beragam permasalahan yang sangat mungkin muncul dalam waktu yang bersamaan atau beriringan. Untuk itu, ketersediaan satu orang tenaga ahli untuk tiap anggota selayaknya dikaji ulang. Di Amerika, seorang senator memiliki sampai 17 tenaga ahli. Di mana 10 orang digaji oleh negara dan tujuh orang lainnya digaji oleh senator yang bersangkutan. Terlepas dari mana anggaran gajinya, namun demi menghasilkan output yang berkualitas, keberadaan tenaga ahli di DPR memang layak untuk ditambah.

Kedua, Strategi dan Program Legislasi. Kualitas anggota DPR tidak hanya diukur dari kapasitas keilmuan dan mentalnya saja, melainkan juga dibutuhkan daya pengaruh yang kuat terhadap kebijakan di semua level parlemen, baik itu tingkat fraksi, komisi maupun badan lainnya sehingga lihai dalam lobi lintas fraksi. Kualitas dari kecerdasan berlapis atau ‘multiple intelligence’ inilah yang diharapkan mampu menggerakkan DPR ke arah yang lebih konstruktif. Kemampuan strategi inilah yang akan memungkinkan masyarakat memberikan penilaian terhadap fraksi mana yang sesungguhnya lebih memperjuangkan aspirasinya di saat seluruh fraksi mengatakan memperjuangkan kepentingan rakyat. Berlomba-lomba dalam kebajikan pun kemudian tidak terhindari mewarnai semangat kerja anggota di parlemen yang kita cintai ini.

Ketiga, Kunci utama untuk mendongkrak kinerja dewan terletak pada kualitas personal dan mekanisme internal fraksi. Setelah membenahi kualitas anggota, maka mekanisme yang ada di fraksi atau partai yang bersangkutan juga akan mempengaruhi kinerja dewan. Yakni mekanisme yang berorientasi pada kinerja.

Keempat, mekanisme yang memungkinkan adanya proses pertanggungjawaban anggota dewan kepada publik atau setidaknya kepada konstituennya. Mekanisme ini bisa dilakukan secara periodik dengan menggunakan saluran-saluran media yang tersedia.

Tidak ada komentar: