Biodata

Foto saya
Lifestyle of Medan's People, Do You Want to Beat it...???

05 April 2010

ISLAM DAN DEMOKRASI

Sebagai seorang muslim kita meyakini bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Sebagai agama yang sempurna, maka selayaknya keyakinan itu mampu membelah dinding-dinding kesempurnaan Islam itu sendiri. Artinya, keyakinan tidak sekedar keyakinan saja, namun kita harus mampu melihat dengan jelas apa-apa saja kesempurnaan yang terdapat di dalam Islam itu sendiri, atau setidaknya keyakinan itu mampu memberikan gelombang motivasi bagi kita untuk menemukan kesempurnaan itu. Salah satu dinding yang dalam tulisan ini saya coba kupas dengan kemampuan saya yang terbatas adalah demokrasi.
Secara tekstual, tentu saja kita tidak akan pernah menemukan penyematan istilah demokrasi di literatur mana pun dalam dinul Islam ini. Namun, bila kita angkat ke arah yang lebih global sesuai dengan ruang lingkup pembahasan dan prakteknya, maka selayaknyalah demokrasi mendapatkan tempat khusus di dalam Islam. Tentu saja saya tidak sedang bermaksud memasukkan demokrasi secara paksa untuk diiyakan oleh kita semua sebagai sesuatu yang sudah dijelaskan secara rinci di dalam risalah Islam sejak 14 abad yang lalu karena - sekali lagi - secara tekstual - demokrasi tidak pernah ada dalam literatur risalah Al-Islam.
Namun bila kita mau jujur pada hati kita disaat melihat substansi dari demokrasi itu sendiri, dan kemudian mencoba mengaitkannya dengan substansi nilai-nilai yang terdapat di dalam ajaran Islam (terkait dengan sistem pemerintahan dan/atau kemashlahatan ummat manusia), serta nilai historis yang terkandung di dalam perjalanan lahirnya Islam di muka bumi ini, maka serta merta kita akan secara tegas mengatakan bahwa demokrasi adalah sebuah sistem yang paling sesuai dengan ajaran Islam di saat belum hadirnya sistem-sistem lain yang lebih paripurna dan memiliki visibilitas yang lebih dari padanya dewasa ini.
Namun di dalam perjalanannya, demokrasi acapkali disakiti dengan kejahatan-kejahatan moral dari para pelaku dan pemangku kekuasaannya. Ini tidak saja menjadi luka mendalam bagi masyarakat yang telah memberikan kepercayaannya pada orang-orang tertentu (pemerintah&borokrat) untuk menggunakan busana demokrasi sebagai alat mensejahterakan mereka, bahkan lebih dari pada itu, ternyata hal ini juga menjadi celah yang memiliki nilai potensi cukup tinggu bagi kaum-kaum anti demokrasi untuk mengganti sistem pemerintahan model ini menjadi sistem pemerintahan model lainnya.
Di sini, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menjadi salah satu golongan yang berada di dalamnya. Di mana mereka menyatakan menolak sistem demokrasi dan berpendapat bahwa sistem Khilafah sebagai satu-satunya model sistem pemerintahan yang sah untuk dijalankan pada semua negara di muka bumi ini, selain dari itu adalah batil alias haram…!!! - ???
Konsentrasi dari tulisan ini adalah bagaimana posisi demokrasi dalam Islam, apakah ia termasuk yang diperbolehkan ataukah memang dilarang? Sementara untuk masalah khilafah, saya menyarankan kepada para pembaca untuk bisa lebih banyak mencarinya pada sumber-sumber yang lain seperti di media website, buku-buku Islam tentang politik, kenegaraan, dll. Karena di sini saya tidak menyajikan seputar hal tersebut kecuali hanya sedikit dan/atau sebagian saja.

1. Berta’aruf Singkat dengan Demokrasi
Demokrasi adalah sebuah manifestasi nilai-nilai yang mengangkat harkat dan kepentingan masyarakat banyak sebagai salah satu esensinya. Saya katakan sebagai “salah satu” esensinya karena tidak semua tatanan yang ada di dalam demokrasi hanya menjadikan kepentingan masyarakat/orang banyak sebagai landasan berpijak atau pun tujuannya. Ada kalanya demokrasi mempertimbangkan dan mengedepankan kepentingan segelintir kaum minoritas dengan alasan keadilan/justice, kesetaraan/proporsionalitas, kemanusiaan/humanity, kemerdekaan/freedom, kebebasan/liberty, dan sebagainya. Jadi, tidaklah benar memandang demokrasi dari sudut “rakyat banyak” saja.

Demokrasi menghendaki kemandirian suatu bangsa dalam mengurusi dan melayani masyarakat di negaranya sesuai dengan kultural, sosial keagamaan dan keberagaman,
Karena di beberapa Negara, demokrasi menemukan wujudnya dalam versi yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi Negara yang bersangkutan yang kemudian menjadi dasar berbedanya wujud demokrasi itu sendiri. Karenanya, adalah suatu kesalahan besar bila kita berpikir bahwa demokrasi adalah sebuah sistem pemerintahan seperti yang ada di Indonesia ini saja. Di Indonesia saja dikenal beberapa model demokrasi, seperti Demokrasi Pancasila, Demokrasi Terpimpin. Walaupun istilah itu hanya dikenal di Indonesia saja. Tapi setidaknya itu memberikan pemahaman kepada kita bahwa demokrasi memungkinkan setiap Negara untuk melakukan kreasi dan modifikasi terhadapnya. Untuk menggenapi pemahaman tentang jenis dan wujud demokrasi, saya sarankan anda untuk membaca buku-buku atau artikel-artikel yang terkait dengan studi banding demokrasi di berbagai Negara. Manfaatkanlah teknologi internet secara cerdas dan cermat…!!!


2. Demokrasi, Sistem Kuffur atau Manjur?
Demokrasi adalah sistem kuffur!!! Ini adalah pernyataan yang paling sering dilontarkan oleh saudara-kita di HTI. Bahwa demokrasi adalah suatu sistem yang lahir dari Barat, bukan produk Islam. Bagi mereka, sistem pemerintahan yang benar menurut syariat Islam adalah sistem Khilafah sebagaimana yang pernah dijalankan oleh Khulafaur Rasyidun hingga berakhir pada runtuhnya dinasti Utsmaniyah 87 tahun yang lalu.
Selain itu, masih menurut mereka, saudara kita itu, demokrasi mempertuhankan suara mayoritas serta meletakkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi di dalam tatanan kenegaraan, undang-undang, orientasi hukum dan berbagai aspek kehidupan. Yang mana seharusnya, sistem yang dipergunakan dalam suatu Negara hendaklah menjadikan Al-Qur’an dan Hadits sebagai panglima dalam menjalankan roda pemerintahan serta mengganti rakyat menjadi ALLAH SWT sebagai pemegang kedaulatan tertinggi di dalam pemerintahan itu sendiri.
Wah, terlihat seru bukan argumennya? Namun sesungguhnya masalah ini tidak terlalu rumit seperti berkobarnya orasi para aktivis (saudara kita) dari HTI dalam setiap demonstrasinya.
Pertama, Islam (baik itu melalui Al-Qur’an yang merupakan firman Allah atau pun Hadits Nabi SAW) tidak pernah mewajibkan kaum muslimin (di zaman Kerasulan atau sesudahnya) untuk hanya menggunakan sistem Khilafah serta menolak sistem selain dari itu. Bahkan dalam sebuah nubuatnya tentang tanda-tanda sebelum kedatangan hari kiamat, Nabi pernah mengatakan bahwa kelak akan datang beberapa masa pemerintahan (kerajaan dan penguasa) sebelum nanti akhirnya khilafah (An-Nubuwwah) akan kembali tegak dan kiamat akan datang setelahnya. Seperti yang kita ketahui bahwa apa yang dikatakan oleh Nabi tentang gambaran masa mendatang pasti akan terjadi. Khilafah yang dikatakan Nabi nanti juga pasti akan datang walau tak tahu entah dengan berapa puluh, ratus atau ribu tahun lagi. Tapi saya tidak sedang membahas masalah itu. Yang ingin saya kupas adalah bahwa dalam ucapannya itu sesungguhnya Nabi mengakui eksistensi berbagai model pemerintahan. Sama halnya seperti Allah di dalam QS. Al-Hajj:40 yang mengatakan “seandainya saja tidak ada sunnatul mudafa’ah, pastilah akan hancur gereja-gereja, sinagok-sinagok, kelenteng-kelenteng, biara-biara, dan masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah”. Ayat itu menggambarkan bahwa walaupun tidak diakui kebenarannya, namun Allah mengakui keberadaan/eksistensi agama dan kepercayaan lain. Jadi, eksistensi perbedaan dan keberagamaan dipandang oleh Islam sebagai sebuah keniscayaan.
Masih ingatkah kita dengan peristiwa Perang Fijar yang meletus di jazirah Arab antara pihak Quraisy (dan Kinanah) versus pihak Qais Ailan? Pada saat itu Rasulullah masih berumur 15 tahun. Rasulullah ikut dalam peperangan ini hingga akhirnya diadakan perjanjian Hilful Fudhul yang merupakan perjanjian kesepakatan di antara Bani Hasyim, Bani Al-Muththalib, Asad bin Abdul Uzza, Zuhrah bin Kilab dan Taimi bin Murrah. Isi perjanjiannya adalah bahwa tak seorang pun dari penduduk Makkah yang dibiarkan teraniaya. Siapa yang teraniaya maka mereka akan membantunya/menolongnya. Sedangkan siapa yang berbuat zhalim maka kezhalimannya harus dibalaskan. Rasul yang pada saat itu masih berumur 15 tahun dan belum diangkat sebagai Rasulullah hadir dalam perjanjian itu.
Berpuluh-puluh tahun setelah kejadian itu, setelah Beliau diangkat sebagai Rasulullah, beliau bersabda, “Aku pernah mengikuti perjanjian yang dikukuhkan di rumah Abdullah bin Jud’an. Suatu perjanjian yang lebih disukai dari pada keledai yang terbagus. Andaikata aku diundang untuk perjanjian itu semasa Islam, tentu aku akan memenuhinya”(lihat Sirah Nabawiyah karya Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakfury).
Perjanjian yang terjadi sebelum Islam turun itu didukung oleh Rasulullah bahkan di saat risalah Islam telah turun. Padahal, bila Islam telah turun, tentu akan banyak atau setidaknya aka nada beberapa sisi perjanjian yang akan berubah sesuai dengan petunjuk Islam. Namun Rasul bahkan menyatakan dia masih akan hadir dan berpihak dalam perjanjian tersebut seandainya perjanjian itu terjadi di masa kerasulan beliau. Ini mengajarkan kepada kita bahwa Rasul mengedepankan substansi dari pada kemasan. Membela kebenaran dari ketertindasan yang merupakan muatan utama dari perjanjian tersebut harus lebih diprioritaskan dari pada sekedar mempermasalahkan model pembungkusnya.
Demokrasi sebagai salah satu alternatif sistem pemerintahan selalu membuka ruang bagi terakomodirnya semua kepentingan yang berkaitan dengan Negara dan rakyatnya. Dosa-dosa pengkhiatan oknum tertentu dalam menjalankan roda demokrasi juga mengartikan bahwa demokrasi mempunyai celah untuk “diperkosa”. Namun, premis itu tentu sangat premature untuk dijadikan konklusi/kesimpulan bahwa demokrasi adalah sistem yang kotor. Karena dalam kenyataannya, runtuhnya khilafah Utsmaniyah juga disebabkan karena maraknya “pemerkosaan” yang terjadi oleh oknum terhadap sistem tersebut. Sehingga dosa adalah milik pelakunya, bukan milik sistemnya.
Belajar dari sejarah demokrasi di Indonesia dewasa ini, kita melihat bahwa ternyata demokrasi mampu melahirkan sejumlah regulasi yang berlandaskan kepada keutamaan sejumlah norma-norma seperti norma susila dan kesantunan (UU Pornografi dan Pornoaksi), norma-norma keadilan (terbentukanya lembaga-lembaga independen seperti KPK, Komisi Kepolisian Nasional, dll). Sementara tuduhan yang menyatakan bahwa demokrasi itu kuffur, ternyata mampu kian termentahkan dengan realitas yang terjadi terutama di Indonesia, bahwa kebenaran semakin lihai menapaki anak-anak tangga demokrasi untuk kemudian-semoga saja- mampu menduduki dan menguasai seluruh lini dari sistem demokrasi itu sendiri. Karena mampu atau tidaknya kebenaran menguasai arena demokrasi menjadi ditentukan oleh sebab menguatnya nuansa kebenaran yang dipegang dan diyakini oleh masyarakatnya, maka menjadi tanggung jawab kitalah untuk bisa mendakwahi seluruh elemen masyarakat agar bersedia memasuki barisan pemegang kebenaran.
Demokrasi memang bukanlah suatu sistem yang dibidani oleh Dinul Islam. Namun ia menyediakan begitu banyak pintu yang memungkinkan terkandungnya nilai-nilai Islam di dalam pelaksanaan dan perjalanannya. Ia memang tidak mengatakan bahwa Al-Qur’an dan hadits sebagai Undang-Undang Dasarnya, tapi ia berpotensi untuk memasukkan hukum dan kebaikan yang ada di dalam Al-Qur’an dan Hadits untuk dijadikan sebagai landasannya. Lalu, adakah sistem yang memiliki nilai serta potensi kebaikan yang lebih secara kualitas dan kuantitas dari pada demokrasi sekarang ini???

3. Pemilu sebagai Bagian Dari Demokrasi
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa sebagai bagian dari sistem demokrasi, pemilihan umum menjadi bagian yang tak terpisahkan di dalamnya. Sekali lagi, Indonesia memberikan corak tersendiri dalam demokrasi dengan kreasi pemilihan umumnya. Di Indonesia kita mengenal ada beberapa macam pemilihan umum, diantaranya pemilihan umum legislatif (Pileg-yang umum dikenal sebagai Pemilu), Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres), Pemilihan Kepala Daerah Propinsi/Gubernur (Pilgub), dan Pemilihan Kepada Daerah Kab/Kota (Pilkada/Pilwalkot), sampai kepada pemilihan kepala desa (Pilkades).
Untuk Negara lain, mungkin inilah pemilihan yang paling merepotkan karena pemilihan umum dipecah-pecah sedemikian rupa sehingga menghasilkan begitu banyak momen pemilihan. Belum lagi analisa anggaran dan dinamika sosial politik yang menjadi monster menakutkan dalam mengoperasionalkan kebijakan yang lahir berdasarkan konsensus ini.

Kembali ke perdebatan, adanya pandangan yang menolak pemilu sebagai turunan produk kuffur bin haram ini tentu harus dikaji ulang. Sebab pemilihan khalifah pada masing-masing khilafah (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali) ternyata juga menggunakan metode yang berbeda-beda, mulai dari penunjukan, pembentukan tim formatur, sampai kepada pemilihan yang melibatkan banyak orang.

Tanpa bermaksud menyudutkan serta menjelek-jelekkan organisasi saudara kita HTI, saya berpendapat bahwa HTI tidak konsisten dengan pernyataannya yang dari waktu ke waktu kian melarikan diri dari hujatan kerasnya terhadap demokrasi dan sistem yang ada di dalamnya, termasuk pemilu. Mulai dari mengatakan produk kuffur, mengharamkan segala isinya, menolak pemilu dan partai politik, namun setelahnya berkilah bahwa HTI adalah partai politik, tidak mengharamkan kadernya untuk ikut memilih dalam pemilu dan tidak menolak pemilu serta sistem perwakilan rakyat, bahkan pada Ahad/12 Agustus 2007 juru bicara HTI, Ismail Yusanto, HTI secara malu-malu mengakui rencana HTI untuk ikut serta dalam pemilu (http://hariansib.com/?p=11100). Padahal, Hizbut Tahrir di Lebanon dan Jordania ikut serta sebagai peserta pemilu di kedua Negara tersebut.
Selain itu, saya melihat HTI tidak ‘gentlemen’ dalam propagandanya. Di satu sisi HTI terlihat sibuk mengkampanyekan anti demokrasi (yang kemudian tidak ada konsistensi di dalamnya). Di sisi yang kedua HTI (yang telah mengaku sebagai partai politik walau tidak terdaftar sebagai partai politik) selalu menyalah-nyalahkan partai-partai politik lain, terutama partai politik Islam dan partai politik yang berbasis Islam karena dianggap turut serta dalam arus kekuffuran sistem demokrasi. Di sisi yang ketiga, HTI tak pernah kehabisan bahan kritik atas kebijakan pemerintah yang dicap sebagai dampak dari pemerintahan dengan sistem thoghut, kebijakan yang baik saja pun terdengar sangat pedas dan salah, konon lagi kebijakan yang dianggap salah. Yang tak kalah mengherankannya lagi adalah, di sisi keempat, di tengah serba kesalahan semua pihak - selain HTI - justru HTI menyarankan masyarakat untuk memilih (pemimpin dan wakil rakyat) yang terbaik.

Sungguh tidaklah mungkin bila esok atau bulan depan akan dilaksanakan pemilu, maka malam ini kita merubah sistem pemilu menjadi sistem pemilihan seperti yang diinginkan oleh HTI (kendati sistem yang diinginkan juga masih kabur). Bila memang semua ini salah dalam pandangan HTI, setidaknya kita berharap mereka bisa konsisten dalam menggenggam konsep pengetahuan mereka tanpa memperdaya keyakinan perjuangannya pada kesempatan-kesempatan yang terlihat terbuka.

Kesimpulan:
Kita tidak menyangkal bahwa Khilafah adalah sistem terbaik yang pernah dijalankan di muka bumi ini. Namun pasca runtuhnya khilafah, Negara-negara yang awalnya merupakan bagian dari khilafah itu sendiri sibuk mencari alternatif sistem pemerintahan dikarenakan kondisi politik dunia yang pada saat itu sedang berada dalam masa Perang Dunia. Kondisi ini kian diperparah dengan menguatnya daya tekan Negara-negara barat dan Eropa yang tengah menggenggam kebobrokan moral dari pemegang amanat khilafah di masa itu. Walhasil, demokrasi menjadi pilihan terbaik pada masa itu untuk menyelamatkan bahtera Negara yang berisikan banyak manusia di dalamnya.
Perbedaan pandangan di antara organisasi-organisasi Islam terhadap permasalahan demokrasi di dalam Islam tentu tidak boleh dijadikan alasan halalnya menghina dan menghujat sesama muslim, apa lagi sampai mengkafirkan mereka dengan memberikan berbagai julukan yang tidak baik. Bagi kita, biarlah mereka dengan pandangan dan pemahaman mereka dan kita dengan pemahaman kita. Biarlah kita sama-sama memiliki anggapan bahwa apa yang kita yakini adalah keyakinan dengan segenap kebaikan ijtihad di dalamnya dan demikian juga halnya dengan mereka. Sedangkan untuk permasalahan apa dan siapa yang pemahaman dan keyakinannya terkait hal ini yang sesungguhnya benar menurut Allah dan Rasul-Nya, maka biarkanlah pengadilan Allah kelak yang akan memberikan keputusan-Nya.
Wallahu a’alam bish-shawab

Referensi :
1. Al-Qur’anul Kariim
2. Sirah Nabawiyah, Syaikh Shafiyyurahman Al Mubarakfury, Pustaka Al-Kautsar, Desember 2007
3. Menghilangkan Trauma Persepsi, KH. Hilmi Aminuddin, Arah Press, Januari 2008
4. http://hariansib.com
5. Teman-teman member milis ADK SUMUT, rekayasamasadepan@yahoogroups.com

Tidak ada komentar: