Biodata

Foto saya
Lifestyle of Medan's People, Do You Want to Beat it...???

16 April 2010

Muhammad Natsir

Merintis Sekolah Terpadu



Saat bergerilya di hutan-hutan belantara Sumatera, demi mempertahankan keyakinannya, Muhammad Natsir (M.Natsir) masih menyempatkan menulis surat untuk putra-putrinya. Sebuah suratnya bercerita, mengapa Natsir tidak tergiur untuk melanjutkan kuliah.

“Aneh! Semua itu tidak menerbitkan selera Aba sama sekali. Aba merasa ada satu lapangan yang paling penting dari pada itu semua. Aba ingin mencoba menempuh jalan lain. Aba ingin berkhidmat kepada Islam secara langsung. Belum terang benar Aba pada permulaannya, apa yang harus dikerjakan sesungguhnya. Tapi, tanpa piker panjang, Aba memutuskan untuk tidak akan melanjutkan pelajaran ke fakultas mana pun juga. Aba hendak memperdalam pengetahuan tentang Islam lebih dulu. Sudah itu, bagaimana nanti.”

Menurut Natsir, problema utama umat Islam ketika itu adalah kebodohan terhadap agamanya sendiri. Untuk itu, Natsir mulai merintis pendidikan yang ia beri nama Pendidikan Islam (Pendis). Konsep Pendis sama dengan apa yang saat ini desebut sebagai Sekolah Islam Terpadu. Di samping itu, Natsir juga melakukan terobosan dengan memberikan pelajaran-pelajaran agama kepada murid-murid HIS, MULO dan Kweekschool (Sekolah Guru). Tempat pertama kali yang mau menerimanya adalah MULO dan Kweekschool Gunung Sahari di Lembang. Ia mulai mengajarkan agama di sana.

Natsir tidak mengajar agama kepada murid-murid MULO dalam bahasa Melayu atau bahasa Sunda, melainkan dalam bahasa Belanda. Ia pun menyusun buku teks pelajaran agama dalam bahasa Belanda. Salah satu kumpulan naskah pengajaran yang kemudian dibukukannya atas permintaan Sukarno saat dibuang ke Endeh adalah Komt tot Gebeid (Marilah Shalat). Tampaknya Natsir mencoba membuat citra Islam tidak identik dengan keterbelakangan. Sebab, ketika itu, bahasa Belanda memang menjadi salah satu indicator “kemajuan” dan “kemodernan”.

Di sekolah pendidikan Islam inilah, para murid digembleng ilmu-ilmu agama dan sikap perjuangan. Alumninya kemudian mendirikan sekolah-sekolah sejenis di berbagai daerah. Pilihan Natsir terkadang dihadapkan pada situasi sulit. Dalam surat-suratnya kepada anak-anaknya. Saat dalam kondisi gerilya di hutan Sumatera Barat, Natsir menceritakan secara rinci kiprahnya dalam mengelola Pendis ini.

Natsir bukan hanya mengonsep kurikulum, mengajar, mengelola guru-gurunya, tapi ia juga harus berjuang mencari dana untuk sekolahnya. Bahkan, untuk menghidupi sekolah ini, kadang ia harus menggadaikan perhiasan istrinya. Kadangkala pula, ia harus pergi ke sejumlah kota untuk menarik sumbangan. Para siswa juga diajar hidup mandiri agar tak bergantung pada pemerintah.

Di samping bergelut dengan persoalan-persoalan nyata dalam dunia pendidikan dan keumatan, Natsir juga terus-menerus menggali dan mengembangkan keilmuannya. Ia memang seseorang yang haus ilmu dan tidak pernah berhenti dbelajar. Kecintaan Natsir di bidang keilmuan dan pendidikan, dibuktikannya dengan upayanya untuk merintis pendirian sejumlah universitas Islam. Setidaknya, Natsir terlibat dalam pendirian Sembilan universitas, seperti Universitas Islam Indonesia (Yogyakarta), Universitas Islam Bandung, Universitas Islam Sumatera Utara, Universitas Islam Riau, Universitas Ibn Khaldun (Bogor), dan sebagainya.

Natsir yakin benar, pendidikan adalah kunci kebangkitan suatu bangsa. Dan, kuncinya terletak di tangan para guru. Karena itulah, kata Natsir mengutippendapat Dr. G. Nieuwenhuis, “Suatu bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara bangsa itu segolongan guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya.”

Kebetulan, sosok Natsir sendiri dibesarkan dalam ‘dua dunia’ sekaligus. Melalui guru-guru mengajinya waktu kecil, ia mempelajari Islam dengan baik. Meskipun bukan keluaran pesantren, Natsir memahami ‘kultur pesantren’. Ciri pesantren tradisional, yakni ‘belajar mandiri’, telah dijalaninya, termasuk ketika belajar dengan A Hasan. Di sisi lain, dia menyerap dengan baik anasir-anasir pendidikan modern, mulai HIS, MULO, dan AMS.

Integrasi ‘dua dunia’ itu pun, dapat disatukannya dengan baik dalam dirinya sendiri. Natsir adalah teladan; bagaimana belajar, bagaimana menjadi guru, dan bagaimana menjadi pejuang sekaligus. Natsir bukan sosok intelektual yang sok netral dalam memandang kebenaran. Ia seorang professional modern, tapi tetap kokoh berpijak pada tradisi keilmuan Islam itu sendiri. Intelektualitasnya tidak menghalanginya untuk bersikap tegas dalam memihak kebenaran dan menolak kebatilan.


Sumber : Republika/B5/Ahad/21-03-10

Tidak ada komentar: