Biodata

Foto saya
Lifestyle of Medan's People, Do You Want to Beat it...???

05 Mei 2010

Maafkan aku (Bu)... Ampuni Hamba (Ya Rabb)...

Bagian 1.

Tak bisa kutahan air mata yg mendesak keluar dari sela-sela bola mataku dan tumpah di kedua telapak tanganku saat kutengadahkan telapak tangan meminta kepada-Nya dalam do’aku yang larut. Entah mengapa aku menjadi begitu cengeng terhadap diriku sendiri di hadapan-Nya, padahal yang kutangisi adalah amalan kebaikan yang mengikuti alur dan skenario-Nya. Ke-egoisankukah yang memprovokasiku untuk menangis? Atau memang benar-benar lahir dari muara kelembutan hatiku?

Niatku baikku mememenuhi permohonan Bu Rabma untuk menjadi supir kijang inova milik Bu Iviv berakhir tragis. Mobil indah tapi sederhana yang berisikan para ibu-ibu guru dan dua orang tua murid TK untuk menuju suatu kawasan outbond daerah di Bogor akhirnya harus pulang dalam keadaan yang tidak seindah saat perginya. Walau tidak parah, namun goresan ‘body’ dekat sisi kiri dalam lampu depannya sangat kontras menodai keindahan mobil yang selalu tampil “kinclong” ini.

Kulihat guratan resah Bu Iviv saat mengetahui bagian kiri depan mobilnya bersisihan dengan besi salah satu bagian gerobak sampah yg parkir di sisi kiri jalan yang sempit itu. Saat kuiikuti mobil di depan memotong gerobak itu tiba-tiba sebuah sepeda motor yang dikendarai sepasang suami isteri dan anaknya yang berada di seberang sana “menyosorkan” sepeda motor yang dikendarainya ke badan jalan yang sebenarnya tidak muat untuk dilaluinya saat mobil yang sedang kulajukan ini sedang melintasi gerobak sampah itu.

Tak pelak lagi, demi menghindari kecelakaan yang berpotensi menimbulkan korban, akhirnya secara spontan kuberi sedikit bagian jalan kepada kendaraannya yang terlihat memaksakan kehendaknya itu. Namun aku lalai. Seharusnya aku sadar bahwa di saat aku memberi jalan kepada sepeda motor itu berarti mobil yang kukendarai ini sudah terlalu “mepet” dengan gerobak sampah itu. Walau tidak gaduh, namun gerakan kepala dan bisik-bisik suara empat orang ibu-ibu yang duduk di bagian tengah dan belakang mobil itu cukup mengganggu konsentrasi dan rasa ‘confidence’ sejak awal kupertahankan di dalam mobil itu.

Dengan dibantu arahan dari Bu Iviv yang duduk di sampingku aku pun sedikit menggerakmundurkan mobil hitam miliknya itu, lalu perlahan bergerak meninggalkan gerobak itu. Beberapa kali kucoba memeriksa kualitas rasa kecewa Bu Iviv melalui raut wajah dan sinar matanya. “Yaa Robbi…sungguh aku telah menyakiti ibu muda yang sholehah ini…”, kataku dalam hati. Lalu dimulailah babak dramatisasi kekhawatiran di dalam kepalaku. Mulai dari sakit hati yang terpaksa dipendamnya, kecemasan bila kemarahan suami terpecut gara-gara hal ini saat mengetahui mobil yang dipercayakan kepadanya pulang dengan goresan sepanjang 30 senti meter. Kegalauan ini menemaniku hingga sampai ke tempat tujuan akhir, yakni di sekitar TK yang sekaligus menjadi tempat kumpul dan berangkat awal.

Begitu sampai di tempat, semua pada turun dan mencoba melihat dengan lebih jelas bekas goresan yang tertinggal di bagian depan mobil itu. Dengan langkah perlahan, aku pun mendekati mereka. Dengan tatapan penuh rasa bersalah kuperhatikan goresan yang membentuk garis sepanjang pergelangan tanganku itu. “Masya Allah…”, Cuma itu kalimat yang keluar dari mulutku sebelum akhirnya kuterdiam dalam bebisuan seribu bahasa. “Udah tidak apa-apa, Cuma dikit aja kok”, kata yang berusaha menenangkan kami semua itu keluar dari mulut Bu Iviv sambil mengayunkan langkahnya menuju pintu mobilnya. Ibu-ibu yang lain kulihat agak ‘rilex’ setelah mendengar kesimpulan si pemilik mobil itu. Walau kulihat masih ada juga wajah yang tetap gamang dengan insiden itu, Bu Rabma. Tentu saja, karena Bu Rabma lah yang merekomendasikan namaku saat suami Bu Iviv tidak mengizinkan istrinya mengendarai mobil keluarganya itu ke luar kota. Sesuai dengan syarat sang suami yang hanya mengizinkan mobil itu dibawa oleh laki-laki untuk keluar kota, maka Bu Rabma memintaku untuk bersedia mengendarai mobil tersebut setelah memastikan bahwa aku mempunyai Surat Izin Mengemudi.

Di saat Bu Iviv masuk ke dalam mobil dan hendak bergerak meninggalkan kami, kucoba dekati pintunya dan sampaikan permohonan maaf serta niat pertanggungjawabanku padanya. “Kalau ada biaya yang dikeluarkan untuk memperbaiki goresan itu, nanti saya akan bayar Bu”, ucapku lirih pada Bu Iviv dari luar jendela pintunya. Namun Bu Iviv kembali menjawab dengan jawaban yang sama. Sementara dua orang tua murid yang kebetulan rumahnya berada pada arah rumah yang sama dan akan pulang dengan kembali naik ke mobil bersama Bu Iviv hanya mengeluarkan senyuman hampa.

Jam tangan yang biasa kupakai di tangan sebelah kananku sudah menunjukkan pukul tiga sore saat aku dan tiga orang ibu guru yang lain memasuki halaman sekolah. 10 menit lagi akan tiba waktu sholat Ashar. Bu Ina berjalan di depanku dan mempersilahkanku istirahat di sekitar ruangan kantor guru sembari Bu Rabma dan Bu Atit yang walau tanpa berkata-kata dan pesan kutahu pergi ke warung nasi untuk mengamankan lambung yang mulai berorasi liar di dalam perut kami saat itu.

“Silahkan istirahat dulu Pak”, ucap Bu Ina mempersilahkanku duduk di salah satu kursi yang tersedia di dekat pintu masuk ruangan kantor guru. “Atau kalau mau istirahat di ruangan kelas itu juga boleh Pak”, sambung Bu Ina sambil menunjukkan ke arah salah satu pintu kelas yang ada di dekat ruangan guru.

“Gak lah bu, saya pulang aja lah”, jawabku dengan logat medan yang masih kental. Walau sudah telat waktu makan siang, tapi ingatanku pada kejadian tadi membuat rasa laparku “ludes” tergilas.

“Eeeh, jangan Pak”, jawab Bu Ina sambil berusaha menahanku agar tidak beranjak meninggalkan lokasi sekolah itu. “Makan dulu lah, itu nasinya lagi dibeli sama Bu Rabma”, sambung Bu Ina menekankanku agar tetap menunggu di situ.

“Gak usah Bu, saya makan di Rumah aja”, usahaku mencoba menolak sambil mencoba melangkahkan kakiku, walau sebenarnya di rumah tidak ada makanan yang bisa kumakan karena kakak yang biasa memasak sedang berlibur ke pulau Wakatobi. Bahkan beberapa kali aku sempat memberanikan diri berkreasi dengan mencoba memasak untuk menekan biaya pengeluaran bila selalu membeli makan di warung.

Melihat kumelangkah, Bu Ina pun bangkit mengejarku dan menghalau jalan di depanku. “Jangan lah Pak, kan nasinya udah dibeli, nanti siapa yang makan? Mubadzir lah…”, jelasnya mencoba meyakinkanku untuk tidak meninggalkan lokasi sekolah TK tempat Bu Rabma mengajar itu.

Akhirnya aku pun mengalah dan mencoba menunggu beberapa menit. Namun bayangan peristiwa buruk yang menimpa Bu Iviv dari suaminya membuat aku semakin tidak tenang. Kucoba berwudhu di kamar mandi yang terletak tidak jauh dari tempat aku duduk. Meski tidak mampu menghapus seluruh kegelisahan hatiku, setidaknya sentuhan air wudhu yang menyapu kulit dan meresap ke dalam pori-poriku mampu untuk sedikit memberikan ketenangan padaku.

bersambung...

- - - - - - - - - - ooo - - - - - - - - - -

Tidak ada komentar: